Friday, August 27, 2010

Kisah Mariyah Al-Qibtiyah R'anha (Sahabat)


Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

Dari Mesir ke Yastrib

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.

Ibrahim bin Muhammad

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah Khadijah radhiallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihis salam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan gembira.

Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah Ta’ala telah menegur lewat firman-Nya :

“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. At-Tahriim:1)

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali radhiallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sakaratul maut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,

“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perkara yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Saat Wafatnya

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu pada tahun ke-16 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.

Sumber:Buku Dzaujatur-Rasulullah

Saturday, August 14, 2010

Kisah Orang Yang Dimaafkan Oleh Allah Karena Dia Memaafkan Hamba-hamba Allah


Ini adalah kisah seorang laki-laki yang tidak mempunyai amal shalih ketika Malaikat maut datang untuk mencabut nyawanya. Dalam urusan dagang, dia memaafkan orang-orang yang bersangkutan dengannya.

Jika dia memberi hutang dan waktu pembayaran telah
tiba, maka dia memberi kesempatan kepada orang yang mampu hingga dia bisa membayar dan memaafkan orang yang dalam kesulitan. Yang dia harapkan dari perbuatannya ini adalah agar Allah memaafkannya. Maka Allah pun memaafkan dan mengampuni dosa-dosanya karena sifat pemaafnya dalam bermuamalah.



NASH HADIS

Bukhari meriwayatkan dari Hudzaefah berkata, 'Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, 'Ada seorang laki-laki dari umat sebelum kalian yang didatangi oleh Malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Dia ditanya, 'Adakah kebaikan yang kamu lakukan?' Dia menjawab,
'Aku tidak tahu.' Dikatakan kepadanya, 'Lihatlah.' Dia menjawab, 'Aku tidak mengetahui apa pun. Hanya saja, di dunia aku berjual-beli dengan orang-orang dan membalas mereka. Lalu aku memberi kesempatan kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang
kesulitan.' Maka Allah memasukkannya ke Surga."

Dalam riwayat Hudzaefah juga, "Para Malaikat menerima ruh seorang laki-laki dari kalangan umat sebelum kalian. Mereka bertanya, 'Apakah kamu melakukan suatu kebaikan?' Dia menjawab, 'Aku memerintahkan para pegawaiku agar memberi kesempatan kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu.' Maka mereka memaafkannya.''

Dalam riwayat Abu Hurairah dengan lafazh, "Ada seorang saudagar yang memberi hutang kepada orang-orang. Jika dia melihat seseorang dalam kesulitan, dia berkata kepada para pegawainya, 'Maafkanlah dia, mudah-mudahan Allah memaafkan kita.' Maka Allah
memaafkannya."

TAKHRIJ HADIS

Riwayat pertama diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab keterangan tentang Bani Israil, 6/494, no. 3451.

Riwayat kedua dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul
Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang mampu, 4/307, no. 2077. Bukhari meriwayatkan pula dari Abu Hurairah dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu.

Riwayat ketiga dalam Shahih dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu, 4/308, no. 2078.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Hudzaefah, Abu Hurairah dan Abu Mas'ud dalam Kitabul Musaqah, bab keutamaan menangguhkan orang yang tidak mampu, 3/1194, no. 1560-1561.

PENJELASAN HADIS

Allah memberitakan kepada kita bahwa ketika kematian mendatangi seorang hamba dan ajalnya telah tiba, maka Malaikat mendatanginya. Jika dia adalah orang yang beriman, maka Malaikat memberinya berita gembira. Jika dia adalah orang kafir, maka Malaikat bertanya kepadanya, mencelanya, menyiksanya dan menyampaikan berita gembira Neraka. Allah berfirman tentang kematian orang mukmin, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah', kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fushshilat: 30)

Allah berfirman tentang orang-orang kafir para pendosa ketika ajal menjemput, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab, 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).' Para Malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa: 97)

Dalam hadis ini Rasulullah menyampaikan berita tentang seorang laki-laki dari umat sebelum kita yang didatangi oleh Malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Malaikat bertanya kepadanya tentang amal kebaikan yang dilakukannya di dunia. Orang ini tidak menemukan amal kebaikan untuk dirinya. Ketika orang ini menjawab tidak satu pun, maka mereka meminta agar meneliti ulang. Dia tetap tidak menemukan amal kebaikan kecuali hanya perniagaan yang menjadi profesinya. Dia memerintahkan para pegawai yang bekerja padanya supaya menangguhkan orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu. Dia menjelaskan alasannya kepada mereka dan berkata, "Semoga Allah memaafkan kita." Maka Allah memenuhi harapannya, memaafkan dan mengampuninya.

Muamalah seperti yang dicontohkan oleh laki-laki ini merupakan muamalah yang diharapkan oleh Islam. Ia didasarkan kepada kemudahan dalam jual-beli dan kelapangan dalam bermuamalah. Menunggu orang-orang yang mampu dan memaafkan orang-orang yang tidak mampu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah berdoa untuk orang yang bersifat demikian, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berlapang dada jika menjual, berlapang dada jika membeli, berlapang dada jika membayar, dan berlapang dada jika menuntut."

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
  1. Keutamaan memberi tempo kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu. Pelakunya yang ikhlas mendapatkan janji maaf dari Allah pada saat bertemu dengan-Nya.
  2. Luasnya rahmat Allah. Hanya dengan amal yang sedikit, seorang hamba bisa mendapatkan pahala besar. Laki-laki ini diampuni dan dimaafkan oleh Allah hanya dengan amalan yang kecil.
  3. Seorang hamba mukmin tidak dikafirkan hanya karena dia melakukan dosa besar. Laki-laki ini tidak melakukan kebaikan kecuali amal ini. Dia meninggalkan kewajiban-kewajiban, namun Allah mengampuni dan memaafkannya.
  4. Pertanyaan seorang Malaikat kepada seorang hamba ketika ia datang kepadanya untuk mencabut nyawanya, sebagaimana laki-laki ini ditanya dan juga sebagaimana yang Allah sampaikan dalam ayat yang kita nukil dalam bab penjelasan.
  5. Menetapkan kaidah besar dalam urusan sifat Allah. Kaidah ini berkata, 'Setiap kesempurnaan tanpa kekurangan yang ditetapkan untuk makhluk, maka Allah lebih berhak.' Di antaranya adalah memaafkan orang-orang dalam bermuamalah. Allah berfirman, "Kami lebih berhak dengan itu daripada dia, maafkanlah dia." Riwayat ini dalam Shahih Muslim.
  6. Boleh jual-beli secara tunda. Laki-laki dalam hadis ini melakukan hal itu. Dia memberi tempo kepada orang yang mampu dan memaafkan yang tidak mampu.
Sumber:
Riwayat pertama diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab keterangan tentang Bani Israil, 6/494, no. 3451.

Riwayat kedua dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul
Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang mampu, 4/307, no. 2077. Bukhari meriwayatkan pula dari Abu Hurairah dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu.

Riwayat ketiga dalam Shahih dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu, 4/308, no. 2078.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Hudzaefah, Abu Hurairah dan Abu Mas'ud dalam Kitabul Musaqah, bab keutamaan menangguhkan orang yang tidak mampu, 3/1194, no. 1560-1561.

Sunday, August 1, 2010

Kisah Seorang Alim Yang bertaktik Agar Selamat


Inilah kisah salah seorang ulama Bani Israil. Orang-orang yang tersesat dari kaumnya ingin menjadikannya sandaran dalam menulis kitab palsu yang mereka buat sebagai ganti dari kitab mereka yang diturunkan dari Allah. Maka alim ini menampakkan seolah-olah dia
setuju dengan kitab palsu itu, padahal sebenarnya dia menunjuk kepada kitabullah yang digantungkan di leher di atas dadanya di balik bajunya.

NASH HADIS

Baihaqi meriwayatkan dalam Syuabul Iman dari Abdullah, bahwa ketika Bani Israil mengalami masa yang panjang dan hati mereka menjadi keras, mereka membuat kitab yang diinginkan oleh hati mereka dan dihalalkan oleh lisan mereka. Dan adalah kebenaran
menjadi penghalang bagi mereka untuk mewujudkan banyak ambisi mereka, sehingga mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka seolah-olah mereka tidak mengetahui.

Dia berkata, "Tunjukkan kitab ini kepada Bani Israil. Jika mereka mengikuti kalian, maka biarkanlah mereka. Jika mereka menyelisihi kalian, maka bunuhlah mereka." Dan dia berkata, "Jangan. Kirimkan dulu kepada si fulan (seorang ulama mereka). Jika dia setuju, maka yang lain pasti mengikuti."

Mereka lalu memanggilnya. Dia kemudian mengambil kertas dan menulis di dalamnya kitabullah, kemudian memasukkannya ke dalam sebuah tanduk dan dikalungkan di lehernya. Dia menutupinya dengan baju, kemudian mendatangi mereka. Mereka menunjukkan
kitab kepadanya. Mereka bertanya kepadanya, "Apakah kamu beriman kepada kitab ini?" Lalu dia menunjuk dadanya (yakni, kitab yang tersimpan di dalam tanduk). Dia menjawab, "Aku beriman kepada ini. Mengapa aku tidak beriman kepada ini?" Mereka lalu melepaskannya.

Dia berkata, "Laki-laki ini mempunyai kawan-kawan yang datang kepadanya. Manakala ajal menjemputnya, mereka mendatanginya. Mereka melepas pakaiannya. Mereka menemukan tanduk yang berisi kitab. Mereka berkata, "Apakah kalian tahu ucapannya, 'Aku beriman
kepada ini. Mengapa aku tidak beriman kepada ini?' Yang dia maksud ini adalah kitab yang ada di tanduk ini. Maka Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh kelompok lebih. Agama terbaik mereka adalah yang mengikuti pemilik tanduk ini."

TAKHRIJ HADIS

Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata tentang takhrij hadis ini dalam Silsilah Al-Ahadis As-Shahihah, (6/436 no. 2694), "Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syuabul Iman (2/439/1-2) dan tanpa ragu sanadnya shahih. Akan tetapi, aku tidak berani menyatakannya marfu’ karena
ia tidak begitu jelas. Meskipun demikian, apa pun hadis ini, ia mempunyai hukum marfu’. Wallahu a'lam."

Hadis ini memiliki pendukung yang sangat singkat. Dari hadis Abu Musa Al-Asy'ari berkata Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Bani Israil menulis sebuah kitab dan membuang Taurat."

PENJELASAN HADIS

Sesungguhnya kebenaran yang Allah turunkan di dalam kitab-kitab-Nya adalah pelindung bagi umat di mana kitab itu diturunkan dari penyimpangan dan kesesatan. Akan tetapi, para pemilik jiwa yang sakit membenci kebenaran dan memusuhinya. Orang-orang dengan
kerusakan dan kejahatan yang telah mendarah daging di dalam jiwa mereka selalu ingin menyesatkan hamba-hamba Allah dengan kesesatan yang jauh. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyelewengkan kitab ini. Jika gagal, maka mereka membelokkan makna-makna di dalam hati dan pemikiran
manusia.

Rasulullah telah menyampaikan bahwa, ketika iman di hati Bani Israil melemah, kerusakan merajalela di lingkungan mereka, dan orang-orang dzalim lagi rusak menguasai mereka, mereka pun hendak mengganti agama Bani Israil, merubah dan menyelewengkannya,maka mereka menulis kitab yang berisi teori-teori dan prinsip-prinsip yang menyelisihi kandungan kitab mereka yang benar. Mereka hendak membawa Bani Israil agar mengikutinya dan meninggalkan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka.

Sekelompok orang yang memiliki kekuasaan di kalangan mereka mengajak kepada penerapan kesesatan melalui cara kekuatan. Siapa yang setuju dengan mereka, maka mereka biarkan. Dan barangsiapa menyelisihi, maka dipenggal lehernya. Begitulah pengikut kekufuran dan kesesatan menerapkan prinsip-prinsip mereka dengan ujung pedang, seperti yang dilakukan oleh komunisme terhadap orang-orang yang mereka kuasai pada zaman ini. Ribuan juta orang telah dibantai demi tercapainya penerapan prinsip-prinsip mereka.

Seorang yang cerdik di kalangan Bani Israil tidak setuju dengan cara kekuatan. Dia mengusulkan kepada kawan-kawannya agar kitab ini ditunjukkan kepada salah seorang ulama mereka. Sepertinya alim ini adalah orang yang berpengaruh dan berpengikut. Jika dia setuju maka Bani Israil akan mengikuti dan berjalan di belakang
mereka.

Kelihatannya alim ini mengetahui tipu muslihat makar mereka. Ketika mereka memanggilnya, dia telah mempersiapkan diri. Dia menulis kitab yang diturunkan dari Allah dan meletakkannya di sebuah tanduk. Lalu dia menggantungkannya di lehernya dan ditutupi oleh baju yang dipakainya. Mereka menyodorkan kitab yang mereka buat kepadanya. Mereka bertanya, "Apakah kamu beriman kepada ini?" Dia menunjuk dadanya tempat tanduk penyimpan kitab tersebut, lalu dia menjawab, "Aku beriman kepada ini. Mengapa aku tidak beriman kepada ini." Mereka memahami bahwa yang dia maksud adalah kitab mereka. Mereka tidak menyadari bahwa maksudnya adalah kitab yang dia tunjuk di dadanya.

Perbuatan seperti ini pernah dilakukan oleh Najasyi yang beriman kepada Rasulullah. Dia menulis kitab yang berisi akidahnya yang benar. Manakala para pemberontak dari kalangan kaumnya mendatanginya dan menuduhnya telah merubah agamanya dan meninggalkan agama Isa, dia pun ditanya tentang akidahnya. Dia menjawab, "Inilah agamaku." Seraya menunjuk kepada kitab yang
tergantung di dadanya.

Murid-muridnya mengetahui sikapnya yang sebenarnya. Ketika dia wafat dan mereka hendak memandikannya, mereka melihat kitab di dadanya. Mereka mengetahui akidahnya yang sebenarnya. Dan yang dia maksudkan adalah kitab tersebut manakala dia berkata, "Aku beriman kepada ini, dan mengapa aku tidak beriman kepada ini."

Sesudahnya, orang-orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh kelompok lebih, dan kelihatannya alim ini selamat di sisi Allah dengan perbuatannya tersebut Tauriyah-nya berguna baginya di sisi Allah.

Sebagian orang yang menisbatkan diri kepada Islam telah berusaha meletakkan buku-buku di mana mereka menyelewengkan Kitabullah dengannya atau mewajibkan kaum muslimin untuk mengikutinya dan meninggalkan Al-Qur'an, atau mereka meletakkan jalan-jalan dan prinsip-prinsip yang dijadikan semacam keyakinan dan prinsip yang membelokkan arah Islam dan pengikutnya. Dan karena semua itu, maka telah banyak kaum muslimin yang tersesat. Namun Al-Qur'an tetap terjaga dan tidak tergantikan sebagaimana kitab-kitab yang lain. Dengan ini Al-Qur'an selalu menjadi batu karang kokoh yang menghadang arus kekufuran dan komunisme sepanjang sejarah.

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
  1. Hadis ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi secara sengaja menyelewengkan kitab mereka, dan bahwa mereka menulis kitab yang menyelisihi Taurat. Al-Qur'an telah menyatakan peristiwa ini di beberapa ayat, seperti yang dinyatakan oleh hadis.
  2. Para pengikut kebatilan bekerja untuk mengeluarkan manusia dari agama mereka dan merusak mereka agar bisa bebas bermain nafsu syahwat dan mendzalimi manusia, serta melakukan apa yang mereka inginkan untuk mereka lakukan tanpa ada yang melarang.
  3. Seorang muslim agar bisa lolos dari kebatilan, dia boleh menggunakan seperti cara yang digunakan oleh alim tersebut dan Najasyi. Allah telah membolehkan perbuatannya. Allah telah memberi kesaksiannya bahwa golongan yang mengikuti alim ini adalah kelompok Bani Israil terbaik. Dan sepertinya Allah memaafkan orang seperti alim ini dengan perbuatan seperti itu, jika kerusakan atau keburukan telah menyebar dan berkonfrontasi dalam menghadapinya tidaklah berguna. Seandainya alim ini menghadapi kelompok yang berkuasa dengan perlawanan, niscaya kepalanya menggelinding. Seandainya Najasyi melawan kaumnya, niscaya kepala dan kerajaannya akan runtuh. Dan tanpa ragu, keberadaan alim ini dan penguasa itu di atas keyakinan keduanya mengandung banyak kebaikan. Si alim mempunyai pengikut yang teguh di atas kebenaran, sedangkan Najasyi menggunakan kekuatannya untuk menolong Islam dan menjaga kaum muslimin.
  4. Perbedaan Bani Israil menjadi tujuh puluh kelompok lebih.
Sumber:
Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata tentang takhrij hadis ini dalam Silsilah Al-Ahadis As-Shahihah, (6/436 no. 2694), "Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syuabul Iman (2/439/1-2) dan tanpa ragu sanadnya shahih. Akan tetapi, aku tidak berani menyatakannya marfu’ karena
ia tidak begitu jelas. Meskipun demikian, apa pun hadis ini, ia mempunyai hukum marfu’. Wallahu a'lam."