Monday, September 24, 2012

Kisah Muttahrrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir Rah.a (Tabi'in)

Seorang ahli hikmah dan doa



Seorang Abid dan ahli syukur. Muttharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir untuk dirinya ia menghina, untuk Allah ia agungkan. Demikianlah Abu Nuaim memberikan sifat pada tokoh tabi’in ini dalam al-Hiyahnya, Dia dilahirkan dimasa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tapi tak sempat bersua dengan beliau

Dia mendapatkan ilmu, mengambil hikmah, sehingga menjadi seorang imam bagi kaum muslimin dan alim bagi agamanya.

Friday, June 10, 2011

Keajaiban yang aku lihat sendiri 4








Alhamdulillah...diperlihatkan lagi padaku tanda-tanda KebesaranNya, Awan berbentuk Lafadz Allah dibumi Yogyakarta, kemarin sore ( 9 Juni 2011) pukul 17.30 WIB didaerah Deresan (Ringroad Utara) sewaktu perjalanan pulang.
"Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."(QS. Al-Baqarah:164)

Friday, May 27, 2011

Kisah Shafiyyah binti Abi Ubaid Rah.a (Tabi'in)

Istri Yang Mendamba Cinta Suami

“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang gemar beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat mencintai dan memuliakan istrinya dalam hidupnya...” (Ibnu Katsir)

Shafiyyah binti Abi Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafiyyah (Ayahnya adalah Abu Ubaid bin Mas’ud bin Amr ats-Tsaqafi. Ia masuk Islam pada masa Rasulullah SAW dan diangkat oleh Umar sebagai panglima pada tahun 13 H dan dikirimkan dalam pasukan besar menuju sebuah wilayah irak. Daerah itu menjadi nama jembatan antara wilayah Qadisiyyah dan Hirah. Dalam pertempuran itu 80 pasukan Islam gugur) adalah istri Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, dengan gelar Abu Abdurrahman al-Qurasyi al-‘Adawi, seorang imam teladan dan ulama kaum muslimin.

Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah sosok istri pilihan yang selalu membantu suami untuk konsisten dalam ketaatan pada Allah SWT. Kepribadiannya dihiasi oleh akhlak dan bimbingan suaminya sehingga menempatkannya pada posisi tertinggi wanita di masa tabi’in.

Suaminya, Ibnu Umar termasuk orang yang gemar berpuasa. Selain Umar bin Khaththab dan anaknya, para shahabat yang selalu berpuasa adalah Abu Thalhah al-Anshari dan Hamzah bin Amr. Adapun dari kalangan wanita yang gemar berpuasa asalah Ummul Mukminin Aisyah.

Dalam hal periwayatan hadits, Abdullah bin Umar termasuk di antara tujuh orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan 5374 hadits, Ibnu Umar dengan 2630 hadits, Anas bin Malik sebanyak 2286 hadits, Ummul Mukminin Aisyah dengan 2210 hadits, Abdullah bin Abbas dengan 1660 hadits, Jabir bin Abdillah dengan 1540 hadits dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadits. Abdullah bin Umar juga dikenal sebagai salah satu dari empat shahabat utama Rasul yang memiliki nama “Abdullah”

Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menempatkan Shafiyyah dalam golongan wanita perawi hadits yang tsiqah. Hal ini senada diungkapkan oleh al-Ajli,” Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah seorang perempuan Madinah, tabi’in dan tsiqah (terpercaya)

Shafiyyah pernah bertemu dengan Umar bin Khathtab dan meriwayatkan hadits darinya. Ia juga sempat bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, Hafshah binti Umar dan Ummu Salamah. Ia juga meriwayatkan hadits dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq (Salah seorang dari tujuh ahli fiqih Madinah, Mereka adalah Said bin al-Musayyib al-Makzhumi (94 H), Urwah bin az-Zubair (94 H), Abu Bakar bin Abdur Rahman (94 H), al-Qasim bin Muhammad (106 H), Ubaidillah bin Abdullah (98 H), Kharijah bin Zaid (100 H), Sulaiman bin Yasar (107 H). Ada juga beberapa ulama yang memasukan nama Salim bin Abdullah bin Umar dalam kelompok tujuh ini menggantikan al-Qasim bin Muhammad, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Alan).

Banyak orang yang meriwayatkan hadits dari Shafiyyah. Mereka adalah tokoh-tokoh tabi’in yang tsiqat dan terkenal karena ilmu dan kemulian. Diantaranya adalah anak tirinya Salim bin Abdullah bin Umar, Nafi (Bekas budak suaminya), Abdullah bin Dinar, Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, Musa bin Uqbah dan lainnya (Musa bin Uqbah bin Abi ‘Iyyasy al-Asadi at-Tabi’in yang bergelar Abu Muhammad. Ia adalah budak keluarga az-Zubair. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa Ulama tabi’in terkenal. Menurut Ibnu Sa’ad, dia adalah seorang yang tsiqah dan benar haditsnya. Ia adalah seorang yang pandai dalam bidang sejarah Rasul dan berasal dari madinah. Ia penilik kitab al-Maghazi yang sangat terkenal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad,”Hendaklah kalian membaca kitab al-Maghazi dari orang shalih, Musa bin Uqbah. Sebab ia adalah sebenar-benarnya kitab al-Maghazi.”Ibnu Ma’in dan Abu Hatim menganggapnya sebagai perawi yang tsiqah, sebagaimana Ibnu Hibban. Musa juga dikenal sebagai Mujtahid dan Mufti. Ia wafat di Madinah pada tahun 141 H).

Imam Muslim meriwayatkan hadits riwayat Shafiyyah dalam kitab Shahihnya, Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasai mencatat riwayatnya dalam Sunannya. Salah satu hadits yang ia riwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,”Seandainya ada seseorang yang selamat dari himpitan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz al-Anshari al-Asyhali.”

Dalam riwayat Nafi’,”Saya menemui Shafiyyah binti Abi Ubaid, lalu ia menceritakan sebuah hadits padaku, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila aku dapat menyaksikan seandainya seseorang terselamatkan dari himpotan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz. Telah tergabung sisi kuburnya.”

Musa bin Uqbah mengutip perkataan Nafi’, Shafiyyah binti Abi Ubaid memberitahukan kepadaku bahwa ia mendengar Umar bin Khaththab membaca dalam shalat Shubuh surah tentang Ash-hab al-Kahfi.

Imam ath-Thabari dan Ibnu Katsir menceritakan, Abdullah bin Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid ketika ayahnya, Umar bin Khaththab, tepatnya pada tahun 16 H. Ibnu Umar menuturkan,”Ayahku, Umar bin Khaththab, membayarkan mahar untukku kepada Shafiyyah binti Abi Ubaid sebanyak 400 dirham. Secara diam-diam, aku menambahkan lagi 200 dirham.”

Nafi’ juga menceritakan, “Ibnu Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid dengan mahar 400 dirham. Lalu ia mengirim utusan padanya dengan pesan, “Jumlah seperti itu tidak cukup untuk kami.”Maka ia menambahkan 200 dirham, tanpa sepengetahuan Umar.”

Allah memberkati pernikahan Ibnu Umar. Shafiyyah melahirkan dari Abdullah bin Umar lima anak laki-laki yang semuanya menjadi ulama. Mereka adalah Abu Bakar, Abu Ubaidah, Waqid, Abdullah dan Umar, selain dua anak perempuan bernama Hafshah dan Saudah.

Shafiyyah dengan mendidik putra-putrinya dengan baik dan sungguh-sungguh, agar mengikuti pedoman keluarga besar Umar. Karenanya, suaminya memuliakannya, menghormatinya. Kesaksian akan keshalihan dan ketakwaan, Shafiyyah dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir,“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang rajin beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat menghormati dan mencintai Shafiyyah sepanjang hidupnya.”

Umar bin Khaththab juga memuliakan dan menghormati menantunya, Shafiyyah binti Abi Ubaid. Ia menempatkannya pada kedudukan sesuai haknya. Meski demikian, tak mungkin ia lebih mendahulukannya daripada orang yang lebih berhak, baik karena hubungan kerabat dengannya maupun karena kedudukannya, kedudukan ayahnya atau bahkan sampai anaknya sendiri Abdullah. Umar selalu memberikan setiap orang sesuai haknya. Pada tahun 16 H, di awal pernikahan Shafiyyah, kaum muslimin banyak memperoleh kemenangan dalam perjuangan menyebarkan Islam. Mereka mendapatkan banyak ghanimah dari negeri-negeri penaklukan di wilayah timur. Umar dikirimi banyak ghanimah di Madinah dan diberi kain-kain sarung yang terbuat dari kapas halus atau sutera, salah satunya terlihat sangat bagus dan lebar.

Sebagian shahabat yang hadir dalam pertemuan itu kagum dengan kain sarung tersebut. Ada yang berkata,”Kain sarung yang harganya sekian, seandainya engkau kirimkan pada istri Abdullah bin Umar, Shafiyyah binti Abi Ubaid, sebab mereka berdua adalah pengantin baru.”

Pernyataan itu tidak didiamkan oleh Umar. Ia pun berkata,”kirimkan ini kepada orang yang lebih berhak darinya, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab. Sebab saya pernah mendengar Rasulullah saat perang Uhud bersabda,”Saya tidak menoleh ke arah kanan atau kiri kecuali saya selalu melihatnya (Nusaibah) berperang melindungiku.”

Ada beberapa cerita kecil tentang Shafiyyah binti Abi Ubaid bersama suaminya Ibnu Umar. Cerita ini menunjukan kedudukan dan keutamaannya. Diantaranya dituturkan Imam adz-Dzahabi. Suatu ketika, Abdullah bin Ja’far memberikan 10 ribu dirham kepada Ibnu Umar sebagai pembayaran atas Nafi’ (Abu Abdullah al-Madani, bekas budak Abdullah bin Umar, adalah seorang yang tsiqah, ahli fiqh dan hadits. Ia wafat pada tahun 117 H). Ibnu Umar masuk menemui istrinya dan memberitahukan tentang transaksi yang terjadi. Sang istri berkata,”Apa yang engkau tunggu?”

Ibnu Umar menjawab,”Tidakkah ada yang lebih baik dari itu semua. Ia menjadi merdeka karena Allah.”

Umar meniatkan semua itu pada firman Allah dalam al-Qur’an,” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai…”(QS. Ali Imran : 92). Di samping itu, Ibnu Umar sangat menyukai Nafi’ dan tidak bersedia memberikannya pada orang lain.

Sebagai istri, Shafiyyah memberikan semua pengabdian yang terbaik kepada suaminya. Nafi’ menuturkan betapa baiknya pelayanan Shafiyyah kepada suaminya. “Suatu ketika Ibnu Umar jatuh sakit. Ia sangat ingin makan buah anggur di musim pertamanya. Shafiyyah memerintahkan utusan dengan memberikan uang satu dirham yang cukup untuk membeli satu tangkai. Seorang pengemis membuntuti utusan ini. Ketika ia sampai dirumah, pengemis itu pun berdiri di depan pintu, Ibnu Umar berkata,”berikan kepadanya!.”

Shafiyyah memberikan kepada utusan itu satu dirham lagi untuk membeli anggur. Pengemis itu kembali mengikutinya. Saat masuk kerumah, si pengemis itu berdiri di depan pintu untuk kedua kalinya. Ibnu Umar berkata lagi,”berikan itu padanya.” Maka, diberikanlah buah anggur yang sudah di beli untuknya itu.

Kejadian itu berulang untuk ketiga atau ke empat kalinya. Shafiyyah pun memberikan buah itu kepada pengemis seraya berkata,”Sungguh demi Allah, apabila engkau kembali lagi, maka kebaikan tidak aku dapatkan.”

Kemudian ia memberikan satu dirham lagi untuk di belikan buah anggur, Setelah itu, pengemis tidak membuntuti lagi kurir Shafiyyah, sehingga Ibnu Umar dapat memakan buah tersebut.

Para Shahabat Rasulullah Shallallahu Aalaihi Wa Sallam gemar menginfakkan harta mereka. Ibnu Umar salah satu dari generasi yang diridhai oleh Allah ini. Sebab, ia menahan keperluan dirinya untuk diberikan kepada orang-orang fakir miskin, sambil mengajarkan kepada istrinya Shafiyyah tentang sedekah, infak dan pengorbanan di jalan Allah.

Said bin Abi Hilal menceritakan bahwa ketika Abdullah bin Umar sampai di Juhfah (Tempat miqat untuk memulai ihram dalam ibadah haji atau umrah bagi penduduk Syam, Mesir dan wilayah Barat). Ia mengeluh sakit. Ia pun berkata,”Saya ingin makan ikan.” Rekan-rekannya pun mencarikan untuknya. Namun mereka tidak menemukannya kecuali seekor ikan besar. Shafiyyah binti Abi Ubaid lalu mengambilnya dan mengolahnya kemudian di suguhkan kepadanya. Lalu datanglah seorang miskin berdiri dihadapannya. Ibnu Umar pun berkata padanya,”Ambillah ikan ini!”

Shafiyyah berkata,”Mahasuci Allah. Sungguh engkau telah membuatku lelah. Padahal kita mempunyai perbekalan lain yang dapat kita berikan padanya.”

Ibnu Umar berkata,”Sesungguhnya Abdullah mencintainya.”

Shafiyyah berkata,”Kami dapat memberikannya satu dirham. Itu lebih bermanfaat baginya daripada ikan ini. Engkaudapat memuaskan keinginanmu.”

Ibnu Umar menjawab,”Keinginanku adalah apa yang aku inginkan.”

Melalui peristiwa ini, Ibnu Umar mengajarkan Shafiyyah bahwa memberi makan orang-orang miskin termasuk jenis keutamaan yang terbaik dan tertinggi. Ia juga mengajarkan bahwa pendidikan jiwa, mengharuskan adanya penghalang atau sesuatu yang sangat diiginkan. Hal ini lebih mendekati ketakwaan dan kesempurnaan kebaikan di sisi Allah SWT.

Ibnu Umar tidak memakan suatu makanan, kecuali terdapat jatah untuk anak yatim atau orang miskin. Hal itu melemahkan badannya. Sampai-sampai Shafiyyah pernah ditegur karena hal itu,” Apakah engkau tidak berbuat baik kepada syaikh ini?”

Shafiyyah menjawab,” Lalu apa yang harus saya perbuat? Kami tidak membuat makanan untuknya kecuali ia mengajak orang lain untuk memakannya.”
Shafiyyah mengirimkan makanan pada sekelompok orang-orang miskin yang sering duduk di jalannya ketika hendak keluar menuju masjid, seraya berkata,”janganlah kalian duduk lagi di jalannya.”

Ibnu Umar pulang kerumah dan berkata,” Kirimkanlah makanan ini kepada si fulan dan si fulan.” Padahal istrinya telah mengirimkan makanan kepada mereka. Shafiyyah berkata,” Apabilah ia mengajak kalian untuk makan bersama, maka janganlah kalian mendatanginya.

Ibnu Umar berkata,”Kalian menginginkanku untuk tidak makan malam di malam ini.” Maka pada itu Ia memang tak mau makan malam saat itu.

Abu Nuaim meriwayatkan dalam al-Hilyah bahwa Hamzah bin Abdullah bin Umar berkata,”Seandainya ada makanan yang banyak pada Abdullah bin Umar. Ia tidak kenyang dengannya kecuali setelah ia menemukan teman makan.

Suatu ketika Ibnu Muthi’ menjenguknya. Ia melihat tubuhnya semakin kurus. Ia berkata kepada Shafiyyah,”Tidakkah engkau bersikap lembut kepadanya?Semoga tubuhnya pulih jika engkau membuat makanan untuknya.”

Shafiyyah menjawab,”Sesungguhnya kami selalu melakukannya. Tapi ia selalu mengajak temannya dan siapapun yang datang kepadanya untuk makan bersama. Coba bicarakan hal itu dengannya!”

Ibnu Muthi’ berkata,”Wahai Abu Abdullah!seandainya engkau bersedia mengambil makanan untukmu maka tubuhmu akan pulih kembali.”

Ia menjawab,”Saya sekarang berumur 80 tahun. Saya belum pernah kenyang. Lalu sekarang engkau ingin aku kenyang saat tidak tersisa lagi umurku kecuali sehaus keledai (kiasan untuk “usia sedikit” sebab, keledai termasuk binatang yang paling kurang tahan dengan haus. Bangsa Arab menggunakannya untuk ungkapan pembicaraan).

Banyak literatur menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar adalah shahabat terakhir yang wafat di Makkah pada 73 H. Tentang tahun wafatnya Shafiyyah binti Abi Ubaid istrinya, tidak ada riwayat pasti. Namun, indikasi menunjukan bahwa ia wafat setelah suaminya beberapa waktu kemudian. Ini didasarkan pada bukti yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa dari Nafi’,” Shafiyyah binti Abi Ubaid mengeluhkan sakit di matanya dan ia melakukan ihdad (Kondisi dimana wanita tidak berdandan dan berhias setelah kematian suaminya selama masa iddahnya) setelah kematian suaminya Abdullah bin Umar bin Khaththab. Ia tidak mengenakan celak mata, hingga kedua matanya sakit.”

Cerita ini menunjukan bahwa ia hidup hingga tahun 73 H yakni setelah meninggalnya suaminya beberapa waktu. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ibnu Sa’ad dari Fulaih bin Nafi’ senada dengan cerita diatas,”Shafiyyah sangat tua. Ia berkeliling antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya.”

Semoga Allah Merahmatinya.

Sumber:
Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’ad, IV/142, VIII/415,472
Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, III/220,238
Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajal al-Asqalani, II/296, X/360-362, XII/430
Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, VIII/292
Al-Hilyah, Abu Nuaim, I/297-298
101 Kisah Tabi’in, Hepi Andi B

Kisah Nabi Yang Takjub Kepada Kaumnya

Inilah kisah seorang Nabiyullah yang diberi umat yang banyak jumlahnya. Dari umatnya itu dia membentuk pasukan yang besar, banyak jumlahnya, dan tangguh. Apa yang dicapai oleh umatnya sangatlah menakjubkannya, begitu pula kekuatannya. Dia berkata, "Siapa yang bisa melawan dan menghadang mereka?"Maka Allah membinasakan tujuh puluh ribu dari kaumnya akibat ujub yang ada padanya.

NASH HADIS

Imam Ahmad meriwayatkan dari Suhaib berkata, "Ketika Rasulullah shalat, beliau membisikkan sesuatu yang tidak aku mengerti dan tidak menjelaskan kepada kami. Beliau bertanya,'Apakah kalian memperhatikanku?' Kami menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku teringat salah seorang Nabi
yang memiliki pasukan dari kaumnya – dalam riwayat lain, 'membanggakan umatnya' – Dia berkata, 'Siapa yang menandingi mereka? Atau siapa yang bisa melawan mereka? Atau ucapan seperti itu.'

Maka diwahyukan kepadanya, "Pilihlah satu dari tiga perkara untuk kaummu: Kami menguasakan musuh dari selain mereka atas mereka, atau kelaparan, atau kematian." Maka Nabi itu bermusyawarah dengan kaumnya dan mereka berkata, "Engkau adalah Nabiyullah, engkau yang memutuskan. Pilihlah untuk kami." Lalu dia mendirikan shalat setiap kali mereka sedang menghadapi urusan penting, mereka mengatasinya melalui shalat. Maka dia shalat sesuai dengan kehendak Allah.

Nabi melanjutkan, "Kemudian dia berkata, 'Ya Rabbi, adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Adapun kelaparan, maka jangan. Akan tetapi aku memilih kematian.' Lalu kematian dikirim kepada mereka, dan yang mati di kalangan mereka sebanyak tujuh puluh ribu. Nabi bersabda, "Bisikanku yang kalian perhatikan itu adalah aku berkata, 'Ya Allah, dengan-Mu aku berperang, dengan-Mu aku melawan dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah."

TAKHRIJ HADIS

Syaikh Albani dalam Silsilah Al-Ahadis As-Shahihah, 5/588, no. 2455. Dia berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad (6/16), Abdur Rahman bin Mahdi menyampaikan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah menyampaikan kepada kami dari Tsabit bin Abdur Rahman bin Abi Laila dari Suhaib berkata…Aku berkata, "Sanad ini shahih di atas syarat Syaikhain, didukung oleh riwayat Ma'mar dari Tsabit Al-Bunani yang sejenis tanpa doa, yang di akhir hadis dan riwayat lain dan tambahannya adalah tambahannya."Dia menambahkan, "Dan jika dia menyampaikan hadis ini, dia pun menyampaikan hadis yang lain bahwa ada seorang raja dan raja itu memiliki seorang dukun…" Hadis selengkapnya.

Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2/236-237). Diriwayatkan oleh Muslim (8/229-231) dan Ahmad dalam riwayatnya (1/16-17) dari jalan Hammad bin Salamah: Tsabit menyampaikan kepada kami tanpa hadis yang pertama, dan Tirmidzi berkata, "Hadis hasan gharib."

Aku berkata, "Dan sanadnya di atas syarat Syaikhain juga."

Hadis ini disebutkan pula oleh Syaikh Nashir (Albani) dalam As-Shahihah (3/50), no. 1061. Dia berkata tentang takhrij-nya, "Diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dalam Ash-Shalah (2/35). Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami, Abu Usamah memberitakan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah menyampaikan kepada kami dari Tsabit Al-Bunani dari Abdur Rahman bin Abu Laila dari Suhaib, lalu dia menyebutkan hadisnya.

Aku berkata, "Ini adalah sanad shahih di atas syarat Syaikhain."
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/333, 6/16) dari dua jalan yang lain dari Sulaiman bin Al-Mughirah dan dari jalan Hammad bin Salamah. Tsabit menyampaikan kepada kami hadis senada dengannya, dan di dalamnya terdapat tambahan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh, dan berbisik itu terjadi sesudah shalat pada hari-hari perang Hunain. Dan Darimi meriwayatkan darinya (2/217) ucapannya, "Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan-Mu aku berperang."

Dan sanad keduanya shahih di atas syarat Muslim.

PENJELASAN HADIS

Rasulullah memberitakan kepada kita di dalam hadis ini kisah tentang seorang Nabiyullah dengan umat yang besar jumlahnya dan tangguh. Dia melihat pemberian Allah ini dan takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam dirinya muncul kekaguman bahwa tidak ada yang mampu menghadapi umatnya, tidak ada yang bisa
mengalahkannya.

Semestinya orang yang menduduki kursi kenabian tidak boleh bersikap demikian, karena ujub dengan diri sendiri atau dengan anak atau harta atau umat adalah penyakit yang buruk. Seorang mukmin dalam menghadang musuhnya tidak tertipu oleh bala tentaranya yang banyak, tidak kecut dengan bala tentaranya yang sedikit, karena kemenangan hanya dari Allah semata. "Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah." (QS. Ali Imran: 126). "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 249)

Kadangkala membanggakan jumlah yang besar justru menjadi penyebab kekalahan. "Dan(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai."(QS. At-Taubah: 25)

Nabi ini dihukum pada kaumnya. Allah meminta kepadanya untuk memilih bagi umatnya satu dari tiga perkara. Dikuasakannya musuh dari selain mereka atas mereka atau kelaparan atau kematian.

Aku bertanya pada diriku sendiri, rahasia apakah gerangan sehingga Nabi itu disuruh memilih satu dari tiga perkara. Maka aku mendapati bahwa satu dari tiga hal itu bisa melemahkan, bahkan melenyapkan kekuatan sebuah umat. Ia menghilangkan ujub yang ada di hati Nabi itu dan umatnya. Jika Allah menguasakan musuh dari selain mereka atas mereka, maka musuh itu akan menghinakan dan merenggut kehormatan mereka. Jika kelaparan yang menimpa, maka kekuatan mereka lenyap dan mudah untuk dikalahkan. Jika mati, maka jumlah mereka berkurang.

Memilih satu dari tiga perkara adalah perkara yang membingungkan dan perlu pertimbangan yang matang. Nabi ini telah berunding dengan umatnya dan mereka menyerahkan perkara itu kepadanya, karena dia adalah Nabiyullah. Para Nabi diberi petunjuk dan langkahnya adalah lurus.

Pilihan Nabi ini cukup tepat. Dia memilih kematian, bukan kelaparan atau kekuasaan musuh atas mereka. Jika seseorang yang hanya menimbang dengan tolak ukur dunia, niscaya dia memilih lain dari apa yang dipilih oleh Nabi itu.

Mungkin sebagian orang yang berpikiran dangkal berpendapat bahwa pilihan tepat adalah dikuasakannya musuh atas mereka, karena mereka akan tetap hidup walaupun musuh bisa saja membunuh sebagian dari mereka. Akan tetapi, Nabi ini tidak rela jika kaumnya dihina dan diinjak-injak. Dan pembunuhan tidak bisa
terelakkan jika musuh mereka menguasai mereka.

Kelaparan adalah perkara berat. Bisa jadi kelaparan menjadi penyebab kalahnya mereka dari musuh mereka, bahkan mungkin banyak yang mati karenanya.

Memilih kematian adalah memilih sesuatu yang pasti datang. Siapa yang hari ini tidak mati, maka dia akan mati besok atau lusa, tidak ada tempat berlari dan berlindung darinya.

Nabi ini memilih kematian buat umatnya. Orang-orang yang kembali kepada Tuhan mereka diharapkan bisa diterima di sisi-Nya, dan orang-orang yang hidup sesudah mereka diharapkan bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada mereka. Bisa jadi setelah mereka mati, Allah memberi ganti dalam jumlah yang banyak jika Dia berkehendak. Segala perkara berada di tangan
Allah.

Nabi ini shalat. Begitulah para Nabi dan orang-orang shalih ketika menghadapi perkara besar, mereka berdiri shalat. Maka dia shalat sesuai yang dikehendaki oleh Allah untuk shalat. Lalu Allah memberinya taufik untuk memilih perkara yang paling ringan. Dia berkata kepada Tuhannya, "Adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Kelaparan juga jangan, akan tetapi kematian."

Kematian menyebar di kalangan mereka seperti api yang menyebar di hamparan rumput kering. Satu per satu wafat. Kematian menjemput dan membinasakan generasi yang tumbuh. Dalam satu hari ada tujuh puluh ribu yang wafat.

Akibat dari ujub yang ada pada Nabi ini kepada kaumnya sangatlah mengerikan. Rasulullah khawatir akibat seperti ini bisa menimpa para sahabatnya. Maka beliau berbisik setelah shalat, "Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan-Mu aku berperang." Dan beliau mengingat kisah Nabi ini, maka beliau berdoa dengan doa seperti di atas kepada Allah, mengumumkan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan serta hanya bergantung kepada kekuatan dan daya para sahabatnya. Dalam menghadapi musuh Nabi berpegang kepada Allah semata, tanpa selain-Nya. Hanya dari-Nya pertolongan dan kemenangan, dan tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan-Nya.

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
  1. Rasulullah memberi pengertian kepada sahabat-sahabatnya tentang sebab-sebab kelemahan dan kebinasaan. Di antaranya adalah ujub terhadap diri.
  2. Akibat ujub sangatlah mengerikan, sebagaimana yang terjadi pada umat Nabi tersebut. Hal itu karena ujub melemahkan tawakkal dan berpijak kepada Allah, serta menjadikan seseorang hanya bergantung kepada sebab-sebab materi.
  3. Hendaknya para pemimpin, para panglima dan para pengendali urusan harus waspada. Jangan sampai Allah menurunkan apa yang telah Allah timpakan kepada kaum Nabi ini. Pada zaman ini kita sering melihat dan mendengar banyaknya kekaguman para pemimpin dan panglima terhadap tentara dan pengikut mereka.
  4. Bisa jadi sebab turunnya ujian adalah sesuatu yang samar, hanya diketahui oleh orang yang mengerti agama Allah. Musibah seperti ini bisa menimpa kaumshalih yang berjihad, sementara mereka tidak mengetahui darimana sebabnya.
  5. Adanya umat yang baik dalam jumlah besar sebelum kita. Pada kalangan mereka terdapat orang-orang yang berperang dan berjihad di jalan Allah. Dalam rentang waktu yang pendek, jumlah orang yang mati mencapai tujuh puluh ribu orang.
  6. Seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakan shalat jika menghadapi suatu perkara besar. Semoga Allah membimbingnya kepada pilihan yang paling lurus. Termasuk hal ini adalah Istikharah yang disyariatkan oleh Allah setelah dua rakaat.
  7. Dalam perkara yang mengharuskan memilih, seorang muslim hendaknya tidak tergesa-gesa. Dia harus bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi ini. Dia harus memikirkan dengan matang, menimbang antara pilihan-pilihan yang ada. Dia harus berdoa kepada Allah agar memberinya taufik sehingga bisa memilih dengan benar.
Sumber: KISAH-KISAH SHAHIH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Karya Syaikh ‘Umar Sulaiman al-‘Asyqor

Monday, May 23, 2011

Kisah Al-A’masy Sulaiman bin Mihran Rah.a (Tabi'in)

Banyak Ilmu dan Ibadah

“Dia orang paling pandai tentang Islam.”.....(Yahya al-Qaththan)

Ia adalah seorang imam, ahli membaca al-Qur’an, rawi hadits dan mufti. Ia banyak melakukan amal, sedikit berkhayal, ahli ibadah terhadap Tuhannya dan dekat dengan makhluknya. Dialah Sulaiman bin Mihran, Imam ahli Qur’an dan hadits. Sufyan bin Unaiyah berkata,”Al-A’masy adalah orang yang paling pandai membaca al-Qur’an, paling banyak menghapal hadits dan paling mengetahui tentang faraidh.”

Ia hidup bersama orang-orang shalih, terdidik dalam asuhan orang-orang terpilih. Dan mereka, ia memetik buah ilmu sehingga menjadi menara dari cahaya pengetahuan Islam. Namanya pun dipahat sejarah dengan ukiran emas.

Dia termasuk orang yang paham Islam dan Allah pun menjaganya. Ibnu al-Madini memberikan kesaksian dalam ungkapannya,”Orang yang menjaga ilmu diantara umat Muhammad SAW ada enam. Untuk penduduk Makkah terdapat Amr bin Dinar, untuk penduduk Madinah ada Muhammad bin Muslim az-Zuhri, untuk penduduk Kufah ada Abu Ishaq as-Sabi’y dan Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, dan untuk penduduk Bashrah ada Yahya bin Abi Katsir dan Qatadah.”

Al-A’masy merupakan imam dan penjaga syariah yang diakui oleh para ulama. Qasim bin Abdurrahman memberikan kesaksian,”Syaikh ini (maksudnya: Al-A’masy) paling mengetahui tentang ucapan Abdullah bin Mas’ud.”

Simak juga ungkapan Hasyim,”Aku tidak mendapatkan orang yang paling pandai membaca al-Qur’an dan paling baik tentang hadits melebihi Al-A’masy.”

Yahya al-Qaththan menambahkan,” Dia orang paling pandai tentang Islam.”

Dengan kedudukannya ini, para ulama banyak yang berlomba untuk mendekat bahkan memberikan pelayanan. Ketika dia membawa sesuatu, orang-orang pun berlomba ingin membawakannya.

Berkenaan dengan ibadah shalatnya, Waki’ bin al-Jarrah menggambarkan, “Hampir 70 tahun Al-A’masy tidak pernah luput ikut takbirah al-ihram (dalam shalat berjama’ah). Dan aku menyertainya hampir dua tahun, dia tidak pernah luput meski satu rakaat.

Ibnu Daud al-Khuraiji berkata,”Ketika Al-A’masy meninggal dihari wafatnya, tak ada seorangpun pengganti yang lebih baik ibadah darinya.

Al-A’masy juga dikenal selalu menjaga kesucian tubuhnya. Suatu ketika, ia terbangun tengah malam. Ia buru-buru mencari air, tapi tidak menemukan. Ia pun meraba-raba dinding untuk mencari debu dan bertayamum. Lalu, ia pun tidur lagi. Ketika orang-orang menanyakan hal itu, ia pun menjawab,”Aku khawatir meninggal dalam keadaan tidak berwudhu.”

Begitulah keadaan Al-A’masy, sehingga derajatnya meningkat setinggi bintang kejora. Orang-orang menghormatinya layaknya seorang amir. Diantara mereka, ada yang mengatakan,”Kami tidak melihat orang kaya dan penguasa di majelis yang lebih hina dari mereka di tempat Al-A’masy.” Maksudnya, meskipun mereka orang-orang kaya dan penguasa, tapi mereka tidak lebih mulia dari Al-A’masy. Padahal, Al-A’masy bukanlah seorang penguasa atau orang kaya.

Suatu ketika ia diminta oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik untuk menuliskan keutamaan Utsman bin Affan dan keburukan Ali bin Abi Thalib. Ketika utusan datang menemuinya, al-A’masy memasukan ke dalam mulut kambing seraya berkata,”Ini jawabannya.”

Namun utusan itu ngotot tak mau kembali. “Kalau saya kembali tidak membawa jawaban, saya akan dibunuh,”ujar utusan itu memelas.

Al-A’masy akhirnya menulis,”Bismillahirrahmanirrahim. Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi penduduk bumi, itu tak akan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri. Wassalam.

Begitulah pendapat seorang imam yang betul-betul tahu bagaimana mengondisikan para shahabat Nabi. Dengan resiko apapun, dia tidak mau menjelek-jelekan mereka atau mengangkat melebihi apa yang seharusnya mereka miliki. Kendati ia tahu apa yang diinginkan sang Khalifah. Sangat boleh jadi, ketika menulis keutamaan Utsman, ia akan mendapatkan penghargaan dari sang Khalifah. Tapi, itu tidak ia lakukan

Ketika muncul fitnah atas Zaid bin Ali, orang-orang berkata,”lebih baik engkau pergi!”

“Demi Allah. Aku tidak mengetahui ada orang yang kujadikan kehormatanku di bawahnya. Bagaimana mungkin aku menjadikan agamaku dibawahnya.”

Pada kesempatan lain, seorang amir bernama Isa bin Musa mengirimkan lembaran kepada al-A’masy untuk memintanya menulis hadits. Ia juga mengirimkan uang seribu dirham.

Ketika menerima lembaran itu, al-A’masy mengambil uang dan menulis, Bismillahir Rahmanir Rahim Qul huwallahu ahad hingga akhir surah.” Ia melipatnya dan mengirimkannya kembali kepada Ali bin Musa.

Ketika membaca tulisan itu, Ali tercengang kaget dan menulis untuk al-A’masy,”Apakah engkau mengira aku tidak mengerti makna ayat al-Qur’an?”

Dalam lembaran balasannya, al-A’masy menjawab,”Apakah engkau mengira aku mau menjual hadits Nabi?” Ia pun tidak menulis apa-apa dan tetap menahan uang yang diberikan padanya dan tidak mengembalikannya.

Suatu ketika al-A’masy dan Ibrahim an-Nakha’i berjalan bersama. Ibrahim ingin mereka melewati jalan yang ramai. Namun al-A’masy menolak.”Kalau orang-orang melihat kita, mereka akan mengatakan,”Ada A’war dan A’masy!” ujar al-A’masy

Tidak apa-apa. Bukankah dengan demikian, kita dapat pahala dan mereka berdosa,”jawab Ibrahim.

“Lalu apa pedulimu kalau kita selamat dan mereka selamat.”

Pada kesempatan lain, ia ikut berjamaah dimasjid Bani Asad. Pada rakaat pertama, imam membaca surah al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua, imam membaca surah Ali Imran. Setelah shalat usai, al-A’masy menghampiri sang imam dan berkata, ”Sebaiknya engkau bertakwa kepada Allah. Apakah engkau tidak pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang mengimami orang-orang maka sederhanakanlah. Diantara mereka ada orang-orang tua, lemah dan punya keperluan.”

Sang imam menjawab dengan membacakan firman Allah,” Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”(QS. Al-Baqarah: 45).

“Aku adalah utusan orang-orang yang khusyuk. Dan bacaanmu berat,”jawab al-A’masy.

Demikianlah perjalanan hidup seorang imam dan ahli hadits. Ketika ia sakit menjelang ajal, ia seperti mengetahui kalau takdir Allah sudah dekat. Saat mau dipanggilkan dokter, ia menolak. Ia meninggalkan dunia ini dengan mewariskan ilmu bagi orang-orang setelahnya.

Ia wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 184 Hijriyah pada usia sekitar 88 tahun. Ketika ia telah wafat, Hisyam ar-Razi pernah melihatnya dalam mimpi. “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam.

“Kami selamat dengan ampunan Allah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,”jawab al-A’masy.

Sumber:
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, karya Azhari Ahmad Mahmud
Siyar A’lam at-Tabi’in, karya Shabri bin Salamah Syahim
101 Kisah Tabi’in