“Dia orang paling pandai tentang Islam.”.....(Yahya al-Qaththan)
Ia adalah seorang imam, ahli membaca al-Qur’an, rawi hadits dan mufti. Ia banyak melakukan amal, sedikit berkhayal, ahli ibadah terhadap Tuhannya dan dekat dengan makhluknya. Dialah Sulaiman bin Mihran, Imam ahli Qur’an dan hadits. Sufyan bin Unaiyah berkata,”Al-A’masy adalah orang yang paling pandai membaca al-Qur’an, paling banyak menghapal hadits dan paling mengetahui tentang faraidh.”
Ia hidup bersama orang-orang shalih, terdidik dalam asuhan orang-orang terpilih. Dan mereka, ia memetik buah ilmu sehingga menjadi menara dari cahaya pengetahuan Islam. Namanya pun dipahat sejarah dengan ukiran emas.
Dia termasuk orang yang paham Islam dan Allah pun menjaganya. Ibnu al-Madini memberikan kesaksian dalam ungkapannya,”Orang yang menjaga ilmu diantara umat Muhammad SAW ada enam. Untuk penduduk Makkah terdapat Amr bin Dinar, untuk penduduk Madinah ada Muhammad bin Muslim az-Zuhri, untuk penduduk Kufah ada Abu Ishaq as-Sabi’y dan Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, dan untuk penduduk Bashrah ada Yahya bin Abi Katsir dan Qatadah.”
Al-A’masy merupakan imam dan penjaga syariah yang diakui oleh para ulama. Qasim bin Abdurrahman memberikan kesaksian,”Syaikh ini (maksudnya: Al-A’masy) paling mengetahui tentang ucapan Abdullah bin Mas’ud.”
Simak juga ungkapan Hasyim,”Aku tidak mendapatkan orang yang paling pandai membaca al-Qur’an dan paling baik tentang hadits melebihi Al-A’masy.”
Yahya al-Qaththan menambahkan,” Dia orang paling pandai tentang Islam.”
Dengan kedudukannya ini, para ulama banyak yang berlomba untuk mendekat bahkan memberikan pelayanan. Ketika dia membawa sesuatu, orang-orang pun berlomba ingin membawakannya.
Berkenaan dengan ibadah shalatnya, Waki’ bin al-Jarrah menggambarkan, “Hampir 70 tahun Al-A’masy tidak pernah luput ikut takbirah al-ihram (dalam shalat berjama’ah). Dan aku menyertainya hampir dua tahun, dia tidak pernah luput meski satu rakaat.
Ibnu Daud al-Khuraiji berkata,”Ketika Al-A’masy meninggal dihari wafatnya, tak ada seorangpun pengganti yang lebih baik ibadah darinya.
Al-A’masy juga dikenal selalu menjaga kesucian tubuhnya. Suatu ketika, ia terbangun tengah malam. Ia buru-buru mencari air, tapi tidak menemukan. Ia pun meraba-raba dinding untuk mencari debu dan bertayamum. Lalu, ia pun tidur lagi. Ketika orang-orang menanyakan hal itu, ia pun menjawab,”Aku khawatir meninggal dalam keadaan tidak berwudhu.”
Begitulah keadaan Al-A’masy, sehingga derajatnya meningkat setinggi bintang kejora. Orang-orang menghormatinya layaknya seorang amir. Diantara mereka, ada yang mengatakan,”Kami tidak melihat orang kaya dan penguasa di majelis yang lebih hina dari mereka di tempat Al-A’masy.” Maksudnya, meskipun mereka orang-orang kaya dan penguasa, tapi mereka tidak lebih mulia dari Al-A’masy. Padahal, Al-A’masy bukanlah seorang penguasa atau orang kaya.
Suatu ketika ia diminta oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik untuk menuliskan keutamaan Utsman bin Affan dan keburukan Ali bin Abi Thalib. Ketika utusan datang menemuinya, al-A’masy memasukan ke dalam mulut kambing seraya berkata,”Ini jawabannya.”
Namun utusan itu ngotot tak mau kembali. “Kalau saya kembali tidak membawa jawaban, saya akan dibunuh,”ujar utusan itu memelas.
Al-A’masy akhirnya menulis,”Bismillahirrahmanirrahim. Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi penduduk bumi, itu tak akan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri. Wassalam.
Begitulah pendapat seorang imam yang betul-betul tahu bagaimana mengondisikan para shahabat Nabi. Dengan resiko apapun, dia tidak mau menjelek-jelekan mereka atau mengangkat melebihi apa yang seharusnya mereka miliki. Kendati ia tahu apa yang diinginkan sang Khalifah. Sangat boleh jadi, ketika menulis keutamaan Utsman, ia akan mendapatkan penghargaan dari sang Khalifah. Tapi, itu tidak ia lakukan
Ketika muncul fitnah atas Zaid bin Ali, orang-orang berkata,”lebih baik engkau pergi!”
“Demi Allah. Aku tidak mengetahui ada orang yang kujadikan kehormatanku di bawahnya. Bagaimana mungkin aku menjadikan agamaku dibawahnya.”
Pada kesempatan lain, seorang amir bernama Isa bin Musa mengirimkan lembaran kepada al-A’masy untuk memintanya menulis hadits. Ia juga mengirimkan uang seribu dirham.
Ketika menerima lembaran itu, al-A’masy mengambil uang dan menulis, Bismillahir Rahmanir Rahim Qul huwallahu ahad hingga akhir surah.” Ia melipatnya dan mengirimkannya kembali kepada Ali bin Musa.
Ketika membaca tulisan itu, Ali tercengang kaget dan menulis untuk al-A’masy,”Apakah engkau mengira aku tidak mengerti makna ayat al-Qur’an?”
Dalam lembaran balasannya, al-A’masy menjawab,”Apakah engkau mengira aku mau menjual hadits Nabi?” Ia pun tidak menulis apa-apa dan tetap menahan uang yang diberikan padanya dan tidak mengembalikannya.
Suatu ketika al-A’masy dan Ibrahim an-Nakha’i berjalan bersama. Ibrahim ingin mereka melewati jalan yang ramai. Namun al-A’masy menolak.”Kalau orang-orang melihat kita, mereka akan mengatakan,”Ada A’war dan A’masy!” ujar al-A’masy
Tidak apa-apa. Bukankah dengan demikian, kita dapat pahala dan mereka berdosa,”jawab Ibrahim.
“Lalu apa pedulimu kalau kita selamat dan mereka selamat.”
Pada kesempatan lain, ia ikut berjamaah dimasjid Bani Asad. Pada rakaat pertama, imam membaca surah al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua, imam membaca surah Ali Imran. Setelah shalat usai, al-A’masy menghampiri sang imam dan berkata, ”Sebaiknya engkau bertakwa kepada Allah. Apakah engkau tidak pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang mengimami orang-orang maka sederhanakanlah. Diantara mereka ada orang-orang tua, lemah dan punya keperluan.”
Sang imam menjawab dengan membacakan firman Allah,” Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”(QS. Al-Baqarah: 45).
“Aku adalah utusan orang-orang yang khusyuk. Dan bacaanmu berat,”jawab al-A’masy.
Demikianlah perjalanan hidup seorang imam dan ahli hadits. Ketika ia sakit menjelang ajal, ia seperti mengetahui kalau takdir Allah sudah dekat. Saat mau dipanggilkan dokter, ia menolak. Ia meninggalkan dunia ini dengan mewariskan ilmu bagi orang-orang setelahnya.
Ia wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 184 Hijriyah pada usia sekitar 88 tahun. Ketika ia telah wafat, Hisyam ar-Razi pernah melihatnya dalam mimpi. “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam.
“Kami selamat dengan ampunan Allah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,”jawab al-A’masy.
Sumber:
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, karya Azhari Ahmad Mahmud
Siyar A’lam at-Tabi’in, karya Shabri bin Salamah Syahim
101 Kisah Tabi’in
Dia termasuk orang yang paham Islam dan Allah pun menjaganya. Ibnu al-Madini memberikan kesaksian dalam ungkapannya,”Orang yang menjaga ilmu diantara umat Muhammad SAW ada enam. Untuk penduduk Makkah terdapat Amr bin Dinar, untuk penduduk Madinah ada Muhammad bin Muslim az-Zuhri, untuk penduduk Kufah ada Abu Ishaq as-Sabi’y dan Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, dan untuk penduduk Bashrah ada Yahya bin Abi Katsir dan Qatadah.”
Al-A’masy merupakan imam dan penjaga syariah yang diakui oleh para ulama. Qasim bin Abdurrahman memberikan kesaksian,”Syaikh ini (maksudnya: Al-A’masy) paling mengetahui tentang ucapan Abdullah bin Mas’ud.”
Simak juga ungkapan Hasyim,”Aku tidak mendapatkan orang yang paling pandai membaca al-Qur’an dan paling baik tentang hadits melebihi Al-A’masy.”
Yahya al-Qaththan menambahkan,” Dia orang paling pandai tentang Islam.”
Dengan kedudukannya ini, para ulama banyak yang berlomba untuk mendekat bahkan memberikan pelayanan. Ketika dia membawa sesuatu, orang-orang pun berlomba ingin membawakannya.
Berkenaan dengan ibadah shalatnya, Waki’ bin al-Jarrah menggambarkan, “Hampir 70 tahun Al-A’masy tidak pernah luput ikut takbirah al-ihram (dalam shalat berjama’ah). Dan aku menyertainya hampir dua tahun, dia tidak pernah luput meski satu rakaat.
Ibnu Daud al-Khuraiji berkata,”Ketika Al-A’masy meninggal dihari wafatnya, tak ada seorangpun pengganti yang lebih baik ibadah darinya.
Al-A’masy juga dikenal selalu menjaga kesucian tubuhnya. Suatu ketika, ia terbangun tengah malam. Ia buru-buru mencari air, tapi tidak menemukan. Ia pun meraba-raba dinding untuk mencari debu dan bertayamum. Lalu, ia pun tidur lagi. Ketika orang-orang menanyakan hal itu, ia pun menjawab,”Aku khawatir meninggal dalam keadaan tidak berwudhu.”
Begitulah keadaan Al-A’masy, sehingga derajatnya meningkat setinggi bintang kejora. Orang-orang menghormatinya layaknya seorang amir. Diantara mereka, ada yang mengatakan,”Kami tidak melihat orang kaya dan penguasa di majelis yang lebih hina dari mereka di tempat Al-A’masy.” Maksudnya, meskipun mereka orang-orang kaya dan penguasa, tapi mereka tidak lebih mulia dari Al-A’masy. Padahal, Al-A’masy bukanlah seorang penguasa atau orang kaya.
Suatu ketika ia diminta oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik untuk menuliskan keutamaan Utsman bin Affan dan keburukan Ali bin Abi Thalib. Ketika utusan datang menemuinya, al-A’masy memasukan ke dalam mulut kambing seraya berkata,”Ini jawabannya.”
Namun utusan itu ngotot tak mau kembali. “Kalau saya kembali tidak membawa jawaban, saya akan dibunuh,”ujar utusan itu memelas.
Al-A’masy akhirnya menulis,”Bismillahirrahmanirrahim. Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi penduduk bumi, itu tak akan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri. Wassalam.
Begitulah pendapat seorang imam yang betul-betul tahu bagaimana mengondisikan para shahabat Nabi. Dengan resiko apapun, dia tidak mau menjelek-jelekan mereka atau mengangkat melebihi apa yang seharusnya mereka miliki. Kendati ia tahu apa yang diinginkan sang Khalifah. Sangat boleh jadi, ketika menulis keutamaan Utsman, ia akan mendapatkan penghargaan dari sang Khalifah. Tapi, itu tidak ia lakukan
Ketika muncul fitnah atas Zaid bin Ali, orang-orang berkata,”lebih baik engkau pergi!”
“Demi Allah. Aku tidak mengetahui ada orang yang kujadikan kehormatanku di bawahnya. Bagaimana mungkin aku menjadikan agamaku dibawahnya.”
Pada kesempatan lain, seorang amir bernama Isa bin Musa mengirimkan lembaran kepada al-A’masy untuk memintanya menulis hadits. Ia juga mengirimkan uang seribu dirham.
Ketika menerima lembaran itu, al-A’masy mengambil uang dan menulis, Bismillahir Rahmanir Rahim Qul huwallahu ahad hingga akhir surah.” Ia melipatnya dan mengirimkannya kembali kepada Ali bin Musa.
Ketika membaca tulisan itu, Ali tercengang kaget dan menulis untuk al-A’masy,”Apakah engkau mengira aku tidak mengerti makna ayat al-Qur’an?”
Dalam lembaran balasannya, al-A’masy menjawab,”Apakah engkau mengira aku mau menjual hadits Nabi?” Ia pun tidak menulis apa-apa dan tetap menahan uang yang diberikan padanya dan tidak mengembalikannya.
Suatu ketika al-A’masy dan Ibrahim an-Nakha’i berjalan bersama. Ibrahim ingin mereka melewati jalan yang ramai. Namun al-A’masy menolak.”Kalau orang-orang melihat kita, mereka akan mengatakan,”Ada A’war dan A’masy!” ujar al-A’masy
Tidak apa-apa. Bukankah dengan demikian, kita dapat pahala dan mereka berdosa,”jawab Ibrahim.
“Lalu apa pedulimu kalau kita selamat dan mereka selamat.”
Pada kesempatan lain, ia ikut berjamaah dimasjid Bani Asad. Pada rakaat pertama, imam membaca surah al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua, imam membaca surah Ali Imran. Setelah shalat usai, al-A’masy menghampiri sang imam dan berkata, ”Sebaiknya engkau bertakwa kepada Allah. Apakah engkau tidak pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang mengimami orang-orang maka sederhanakanlah. Diantara mereka ada orang-orang tua, lemah dan punya keperluan.”
Sang imam menjawab dengan membacakan firman Allah,” Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”(QS. Al-Baqarah: 45).
“Aku adalah utusan orang-orang yang khusyuk. Dan bacaanmu berat,”jawab al-A’masy.
Demikianlah perjalanan hidup seorang imam dan ahli hadits. Ketika ia sakit menjelang ajal, ia seperti mengetahui kalau takdir Allah sudah dekat. Saat mau dipanggilkan dokter, ia menolak. Ia meninggalkan dunia ini dengan mewariskan ilmu bagi orang-orang setelahnya.
Ia wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 184 Hijriyah pada usia sekitar 88 tahun. Ketika ia telah wafat, Hisyam ar-Razi pernah melihatnya dalam mimpi. “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam.
“Kami selamat dengan ampunan Allah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,”jawab al-A’masy.
Sumber:
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, karya Azhari Ahmad Mahmud
Siyar A’lam at-Tabi’in, karya Shabri bin Salamah Syahim
101 Kisah Tabi’in
afwan,
ReplyDeleteImam Ibnul Jauzi mengisahkan dalam kitabnya Al-Muntadham, suatu hari mereka berdua menyusuri jalanan kota Kufah untuk mencari sebuah masjid. Saat keduanya berada di jalanan yang sama, Imam An-Nakha'i berkata:
"Wahai Sulaiman, bisakah kamu lewat jalan yang berlainan dengan saya ?, sebab aku kuatir bila kita melewati jalanan yang sama dan bertemu dengan orang-orang bodoh lalu mereka berkata: "ada orang buta sebelah (A'war) menuntun orang yang lemah pandangannya (A'masy)"
Maka Al-A'masy (Sulaiman) berkata:
"Wahai Abu Imran, lantas kenapa dengan dirimu bila engkau mendapat pahala sedang mereka mendapat dosa?"
Ibrahim An-Nakha'i berkata:
"Maha Suci Allah, bila kita selamat dan mereka juga selamat itu jauh lebih baik dari pada kita mendapat pahala sedang mereka mendapat dosa."
masyaallah fikiran orang alim itu memang diatas rata-rata manusia, kalo saya g akan kpikiran seperti itu kayanya
Delete