Tuesday, May 3, 2011

Kisah Amir bin Abdillah at-Tamimi Rah.a (Tabi'in)


Ahli Zuhud dari Bashrah

“Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati, Aku Menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara naik dan turun, ke surga atau ke neraka, aku tak tahu kemana aku akan kembali......(Amir bin Abdillah at-Tamimi Rah.a)

Amir bin Abdillah laksana rahib dimalam hari dan laskar berkuda di siang hari. Bashrah dikenal sebagai daerah kaum muslimin yang paling kaya dengan hasil bumi yang melimpah ruah. Banyaknya harta rampasan perang semakin memakmurkan negeri ini. Tapi Amir bin Abdillah, pemuda dari Bani Tamimi, tak pernah mengharapkan dan membutuhkan itu semua. Ia begitu zuhud terhadap apa yang ada ditangan manusia dan hanya berharap apa yang ada disisi Allah.

Gubernur kota bashrah saat itu adalah Abu Musa al-Asy’ary. Ia adalah panglima perang tentara Islam yang juga dikenal sebagai imam, guru dan pembimbing masyarakatnya. Amir bin Abdillah senantiasa menyertai Abu Musa al-Asy’ary disaat damai maupun perang, dikota maupun diperjalanan. Itulah yang memungkinkan Amir dapat menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Ia tak hanya belajar al-Qur’an persis sebagaimana ia turun kepada hati Muhammad SAW, tetapi juga meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Muhammad SAW.

Amir bin Abdillah menjadikan kehidupannya untuk tiga hal. Sebagian untuk halaqah-halaqah zikir, dimana ia membacakan dan mengajarkannya kepada masyarakat di masjid Bashrah. Sebagian lagi untuk menyendiri untuk beribadah pada RabbNya. Sebagian lagi untuk berjihad, menghunuskan pedang dijalan Allah. Ia tak pernah meninggalkan aktivitas tersebut sedikit pun sehingga ia dikenal sebagai ahli ibadah dan ahli zuhud kota bashrah.

Seorang penduduk Bashrah menceritakan kehidupan Amir bin Abdillah:”Aku pernah mengikuti perjalanan sebuah kafilah yang didalamnya ada Amir bin Abdillah. Ketika malam datang menjelang, kami beristrahat dibawah pepohonan dekat sumber air. Saat itulah Amir bin Abdillah membereskan perbekalannya, kemudian mengikatkan kudanya pada sebuah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Ia juga mengumpulkan rumput yang dapat mengenyangkan kudanya. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepohonan dan menjauh dari kami. Melihat itu aku berkata dalam hati, ”Demi Allah, akan saya ikuti dan perhatikan apa yang ia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.

Ia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat untuk melaksanakan sholat. Baru kali ini aku melihat seseorang sholat dengan sempurna dan khusyuk seperti itu.

Kemudian rasa kantuk menyerangku. Karena kantuk sangat berat, maka aku pasrahkan kedua kelopak mataku untuk tidur. Setelah sekian lama aku terbuai dalam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang. Amir bin Abdillah bukan saja “rahib dimalam hari”, tapi juga “ laskar berkuda di siang hari”

Setiap kali seruan jihad memanggil, ia termasuk pelopor dalam menyambutnya. Apabila hendak berangkat perang bersama mujahidin yang lain, ia selalu mengenali mereka terlebih dahulu guna memilih teman berjuang. Apabila berkenan di hati, ia berkata,”Wahai saudara-saudaraku, aku ingin berjihad bersama kalian, tapi dengan syarat kalian bersedia memberikan kepadaku tiga hal.”

Mereka bertanya,”Apakah itu?”

“Pertama, agar aku menjadi pelayan kalian dan karena itu janganlah ada seorang pun yang menyanggah. Kedua, agar aku menjadi muadzin bagi kalian, untuk itu janganlah ada seorang pun yang menyaingiku dalam adzan. Ketiga, agar aku memberikan nafkah kepada kalian sebatas kemampuanku.”

Seandainya mereka menjawab setuju, ia bergabung bersama mereka. Kalau tidak, ia mencari kelompok lain.

Amir bin Abdillah termasuk mujahid yang banyak berperan saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, ia menembus barisan musuh. Tapi ia tidak ambisi saat pembagian ghanimah.

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash, panglima perang Qadisiyah berhasil menundukan persia, ia memerintahkan Amir untuk mengumpulkan dan menghitung ghanimah. Banyak sekali harta kekayaan, perhiasan dan barang-barang berharga yang berhasil dikumpulkan. Seperlimanya dikirim ke Baitul Maal dan sisanya dibagikan kepada para mujahidin.

Saat para pekerja menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang ditengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh dengan debu membawa sebuah gentong besar dan berat yang ia bawa sendiri. Dengan takjub mereka memperhatikan. Ternyata sebuah gentong yang tak pernah mereka lihat semisalnya. Mereka belum pernah mendapatkan harta rampasan perang yang senilai dengan itu atau sepadan dengannya.

Mereka melihat didalamnya penuh dengan batu permata dan intan berlian yang sangat berharga!Mereka pun bertanya kepada laki-laki itu,”Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?”

“Aku dapatkan pada peperangan ini ditempat ini,”jawabnya singkat.
“Adakah engkau mengambil bagian?” tanya mereka.
“Hadaakumullah. Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja persia bagiku tidak senilai dengan ujung kuku sama sekali. Sekiranya tidak ada Baitul Maal didalamnya, tentu tak akan aku angkat dan aku gendong ke tengah-tengah kalian,”jawab laki-laki itu.

“Siapakah engkau,”tanya mereka penasaran.

“Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian juga orang lain, agar kalian tidak memuji dan menyanjungku. Aku hanya memuji dan menyanjung Allah serta mengharap pahala dariNya,”kata laki-laki itu seraya berlalu meninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang sangat, mereka mengutus seseorang untuk membuntuti dan mencari informasi tentang laki-laki itu. Tanpa sepengetahuannya, laki-laki itu terus diikuti hingga tibalah ditengah sahabat-sahabatnya. Ketika ia menanyakan perihal laki-laki itu mereka balik bertanya, “Tidakkah engkau mengetahuinya?Ia adalah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah at-Tamimi!”

Amir bin Abdillah menghabiskan sisa hidupnya dinegeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggalnya. Ketika sakitnya makin berat, para sahabatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis. Mereka pun bertanya,”Apakah yang menjadikan engkau menangis?Bukankah engkau orang yang begini dan begitu (menyebutkan berbagai macam kebaikan).”

“Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati, Aku Menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara naik dan turun, ke surga atau ke neraka, aku tak tahu kemana aku akan kembali,”Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sementara lidahnya basah dengan zikrullah.

Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Amir dimakamkan di Baitul Maqdis

Sumber:
Ashr at-Tabi’in, Abdul Mun’im al-Hasyim, hlm 220-223
101 Kisah Tabi'in


No comments:

Post a Comment