Istri Yang Mendamba Cinta Suami
“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang gemar beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat mencintai dan memuliakan istrinya dalam hidupnya...” (Ibnu Katsir)
Shafiyyah binti Abi Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafiyyah (Ayahnya adalah Abu Ubaid bin Mas’ud bin Amr ats-Tsaqafi. Ia masuk Islam pada masa Rasulullah SAW dan diangkat oleh Umar sebagai panglima pada tahun 13 H dan dikirimkan dalam pasukan besar menuju sebuah wilayah irak. Daerah itu menjadi nama jembatan antara wilayah Qadisiyyah dan Hirah. Dalam pertempuran itu 80 pasukan Islam gugur) adalah istri Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, dengan gelar Abu Abdurrahman al-Qurasyi al-‘Adawi, seorang imam teladan dan ulama kaum muslimin.
Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah sosok istri pilihan yang selalu membantu suami untuk konsisten dalam ketaatan pada Allah SWT. Kepribadiannya dihiasi oleh akhlak dan bimbingan suaminya sehingga menempatkannya pada posisi tertinggi wanita di masa tabi’in.
Suaminya, Ibnu Umar termasuk orang yang gemar berpuasa. Selain Umar bin Khaththab dan anaknya, para shahabat yang selalu berpuasa adalah Abu Thalhah al-Anshari dan Hamzah bin Amr. Adapun dari kalangan wanita yang gemar berpuasa asalah Ummul Mukminin Aisyah.
Dalam hal periwayatan hadits, Abdullah bin Umar termasuk di antara tujuh orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan 5374 hadits, Ibnu Umar dengan 2630 hadits, Anas bin Malik sebanyak 2286 hadits, Ummul Mukminin Aisyah dengan 2210 hadits, Abdullah bin Abbas dengan 1660 hadits, Jabir bin Abdillah dengan 1540 hadits dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadits. Abdullah bin Umar juga dikenal sebagai salah satu dari empat shahabat utama Rasul yang memiliki nama “Abdullah”
Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menempatkan Shafiyyah dalam golongan wanita perawi hadits yang tsiqah. Hal ini senada diungkapkan oleh al-Ajli,” Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah seorang perempuan Madinah, tabi’in dan tsiqah (terpercaya)
Shafiyyah pernah bertemu dengan Umar bin Khathtab dan meriwayatkan hadits darinya. Ia juga sempat bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, Hafshah binti Umar dan Ummu Salamah. Ia juga meriwayatkan hadits dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq (Salah seorang dari tujuh ahli fiqih Madinah, Mereka adalah Said bin al-Musayyib al-Makzhumi (94 H), Urwah bin az-Zubair (94 H), Abu Bakar bin Abdur Rahman (94 H), al-Qasim bin Muhammad (106 H), Ubaidillah bin Abdullah (98 H), Kharijah bin Zaid (100 H), Sulaiman bin Yasar (107 H). Ada juga beberapa ulama yang memasukan nama Salim bin Abdullah bin Umar dalam kelompok tujuh ini menggantikan al-Qasim bin Muhammad, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Alan).
Banyak orang yang meriwayatkan hadits dari Shafiyyah. Mereka adalah tokoh-tokoh tabi’in yang tsiqat dan terkenal karena ilmu dan kemulian. Diantaranya adalah anak tirinya Salim bin Abdullah bin Umar, Nafi (Bekas budak suaminya), Abdullah bin Dinar, Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, Musa bin Uqbah dan lainnya (Musa bin Uqbah bin Abi ‘Iyyasy al-Asadi at-Tabi’in yang bergelar Abu Muhammad. Ia adalah budak keluarga az-Zubair. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa Ulama tabi’in terkenal. Menurut Ibnu Sa’ad, dia adalah seorang yang tsiqah dan benar haditsnya. Ia adalah seorang yang pandai dalam bidang sejarah Rasul dan berasal dari madinah. Ia penilik kitab al-Maghazi yang sangat terkenal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad,”Hendaklah kalian membaca kitab al-Maghazi dari orang shalih, Musa bin Uqbah. Sebab ia adalah sebenar-benarnya kitab al-Maghazi.”Ibnu Ma’in dan Abu Hatim menganggapnya sebagai perawi yang tsiqah, sebagaimana Ibnu Hibban. Musa juga dikenal sebagai Mujtahid dan Mufti. Ia wafat di Madinah pada tahun 141 H).
Imam Muslim meriwayatkan hadits riwayat Shafiyyah dalam kitab Shahihnya, Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasai mencatat riwayatnya dalam Sunannya. Salah satu hadits yang ia riwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,”Seandainya ada seseorang yang selamat dari himpitan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz al-Anshari al-Asyhali.”
Dalam riwayat Nafi’,”Saya menemui Shafiyyah binti Abi Ubaid, lalu ia menceritakan sebuah hadits padaku, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila aku dapat menyaksikan seandainya seseorang terselamatkan dari himpotan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz. Telah tergabung sisi kuburnya.”
Musa bin Uqbah mengutip perkataan Nafi’, Shafiyyah binti Abi Ubaid memberitahukan kepadaku bahwa ia mendengar Umar bin Khaththab membaca dalam shalat Shubuh surah tentang Ash-hab al-Kahfi.
Imam ath-Thabari dan Ibnu Katsir menceritakan, Abdullah bin Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid ketika ayahnya, Umar bin Khaththab, tepatnya pada tahun 16 H. Ibnu Umar menuturkan,”Ayahku, Umar bin Khaththab, membayarkan mahar untukku kepada Shafiyyah binti Abi Ubaid sebanyak 400 dirham. Secara diam-diam, aku menambahkan lagi 200 dirham.”
Nafi’ juga menceritakan, “Ibnu Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid dengan mahar 400 dirham. Lalu ia mengirim utusan padanya dengan pesan, “Jumlah seperti itu tidak cukup untuk kami.”Maka ia menambahkan 200 dirham, tanpa sepengetahuan Umar.”
Allah memberkati pernikahan Ibnu Umar. Shafiyyah melahirkan dari Abdullah bin Umar lima anak laki-laki yang semuanya menjadi ulama. Mereka adalah Abu Bakar, Abu Ubaidah, Waqid, Abdullah dan Umar, selain dua anak perempuan bernama Hafshah dan Saudah.
Shafiyyah dengan mendidik putra-putrinya dengan baik dan sungguh-sungguh, agar mengikuti pedoman keluarga besar Umar. Karenanya, suaminya memuliakannya, menghormatinya. Kesaksian akan keshalihan dan ketakwaan, Shafiyyah dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir,“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang rajin beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat menghormati dan mencintai Shafiyyah sepanjang hidupnya.”
Umar bin Khaththab juga memuliakan dan menghormati menantunya, Shafiyyah binti Abi Ubaid. Ia menempatkannya pada kedudukan sesuai haknya. Meski demikian, tak mungkin ia lebih mendahulukannya daripada orang yang lebih berhak, baik karena hubungan kerabat dengannya maupun karena kedudukannya, kedudukan ayahnya atau bahkan sampai anaknya sendiri Abdullah. Umar selalu memberikan setiap orang sesuai haknya. Pada tahun 16 H, di awal pernikahan Shafiyyah, kaum muslimin banyak memperoleh kemenangan dalam perjuangan menyebarkan Islam. Mereka mendapatkan banyak ghanimah dari negeri-negeri penaklukan di wilayah timur. Umar dikirimi banyak ghanimah di Madinah dan diberi kain-kain sarung yang terbuat dari kapas halus atau sutera, salah satunya terlihat sangat bagus dan lebar.
Sebagian shahabat yang hadir dalam pertemuan itu kagum dengan kain sarung tersebut. Ada yang berkata,”Kain sarung yang harganya sekian, seandainya engkau kirimkan pada istri Abdullah bin Umar, Shafiyyah binti Abi Ubaid, sebab mereka berdua adalah pengantin baru.”
Pernyataan itu tidak didiamkan oleh Umar. Ia pun berkata,”kirimkan ini kepada orang yang lebih berhak darinya, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab. Sebab saya pernah mendengar Rasulullah saat perang Uhud bersabda,”Saya tidak menoleh ke arah kanan atau kiri kecuali saya selalu melihatnya (Nusaibah) berperang melindungiku.”
Ada beberapa cerita kecil tentang Shafiyyah binti Abi Ubaid bersama suaminya Ibnu Umar. Cerita ini menunjukan kedudukan dan keutamaannya. Diantaranya dituturkan Imam adz-Dzahabi. Suatu ketika, Abdullah bin Ja’far memberikan 10 ribu dirham kepada Ibnu Umar sebagai pembayaran atas Nafi’ (Abu Abdullah al-Madani, bekas budak Abdullah bin Umar, adalah seorang yang tsiqah, ahli fiqh dan hadits. Ia wafat pada tahun 117 H). Ibnu Umar masuk menemui istrinya dan memberitahukan tentang transaksi yang terjadi. Sang istri berkata,”Apa yang engkau tunggu?”
Ibnu Umar menjawab,”Tidakkah ada yang lebih baik dari itu semua. Ia menjadi merdeka karena Allah.”
Umar meniatkan semua itu pada firman Allah dalam al-Qur’an,” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai…”(QS. Ali Imran : 92). Di samping itu, Ibnu Umar sangat menyukai Nafi’ dan tidak bersedia memberikannya pada orang lain.
Sebagai istri, Shafiyyah memberikan semua pengabdian yang terbaik kepada suaminya. Nafi’ menuturkan betapa baiknya pelayanan Shafiyyah kepada suaminya. “Suatu ketika Ibnu Umar jatuh sakit. Ia sangat ingin makan buah anggur di musim pertamanya. Shafiyyah memerintahkan utusan dengan memberikan uang satu dirham yang cukup untuk membeli satu tangkai. Seorang pengemis membuntuti utusan ini. Ketika ia sampai dirumah, pengemis itu pun berdiri di depan pintu, Ibnu Umar berkata,”berikan kepadanya!.”
Shafiyyah memberikan kepada utusan itu satu dirham lagi untuk membeli anggur. Pengemis itu kembali mengikutinya. Saat masuk kerumah, si pengemis itu berdiri di depan pintu untuk kedua kalinya. Ibnu Umar berkata lagi,”berikan itu padanya.” Maka, diberikanlah buah anggur yang sudah di beli untuknya itu.
Kejadian itu berulang untuk ketiga atau ke empat kalinya. Shafiyyah pun memberikan buah itu kepada pengemis seraya berkata,”Sungguh demi Allah, apabila engkau kembali lagi, maka kebaikan tidak aku dapatkan.”
Kemudian ia memberikan satu dirham lagi untuk di belikan buah anggur, Setelah itu, pengemis tidak membuntuti lagi kurir Shafiyyah, sehingga Ibnu Umar dapat memakan buah tersebut.
Para Shahabat Rasulullah Shallallahu Aalaihi Wa Sallam gemar menginfakkan harta mereka. Ibnu Umar salah satu dari generasi yang diridhai oleh Allah ini. Sebab, ia menahan keperluan dirinya untuk diberikan kepada orang-orang fakir miskin, sambil mengajarkan kepada istrinya Shafiyyah tentang sedekah, infak dan pengorbanan di jalan Allah.
Said bin Abi Hilal menceritakan bahwa ketika Abdullah bin Umar sampai di Juhfah (Tempat miqat untuk memulai ihram dalam ibadah haji atau umrah bagi penduduk Syam, Mesir dan wilayah Barat). Ia mengeluh sakit. Ia pun berkata,”Saya ingin makan ikan.” Rekan-rekannya pun mencarikan untuknya. Namun mereka tidak menemukannya kecuali seekor ikan besar. Shafiyyah binti Abi Ubaid lalu mengambilnya dan mengolahnya kemudian di suguhkan kepadanya. Lalu datanglah seorang miskin berdiri dihadapannya. Ibnu Umar pun berkata padanya,”Ambillah ikan ini!”
Shafiyyah berkata,”Mahasuci Allah. Sungguh engkau telah membuatku lelah. Padahal kita mempunyai perbekalan lain yang dapat kita berikan padanya.”
Ibnu Umar berkata,”Sesungguhnya Abdullah mencintainya.”
Shafiyyah berkata,”Kami dapat memberikannya satu dirham. Itu lebih bermanfaat baginya daripada ikan ini. Engkaudapat memuaskan keinginanmu.”
Ibnu Umar menjawab,”Keinginanku adalah apa yang aku inginkan.”
Melalui peristiwa ini, Ibnu Umar mengajarkan Shafiyyah bahwa memberi makan orang-orang miskin termasuk jenis keutamaan yang terbaik dan tertinggi. Ia juga mengajarkan bahwa pendidikan jiwa, mengharuskan adanya penghalang atau sesuatu yang sangat diiginkan. Hal ini lebih mendekati ketakwaan dan kesempurnaan kebaikan di sisi Allah SWT.
Ibnu Umar tidak memakan suatu makanan, kecuali terdapat jatah untuk anak yatim atau orang miskin. Hal itu melemahkan badannya. Sampai-sampai Shafiyyah pernah ditegur karena hal itu,” Apakah engkau tidak berbuat baik kepada syaikh ini?”
Shafiyyah menjawab,” Lalu apa yang harus saya perbuat? Kami tidak membuat makanan untuknya kecuali ia mengajak orang lain untuk memakannya.”
Shafiyyah mengirimkan makanan pada sekelompok orang-orang miskin yang sering duduk di jalannya ketika hendak keluar menuju masjid, seraya berkata,”janganlah kalian duduk lagi di jalannya.”
Ibnu Umar pulang kerumah dan berkata,” Kirimkanlah makanan ini kepada si fulan dan si fulan.” Padahal istrinya telah mengirimkan makanan kepada mereka. Shafiyyah berkata,” Apabilah ia mengajak kalian untuk makan bersama, maka janganlah kalian mendatanginya.
Ibnu Umar berkata,”Kalian menginginkanku untuk tidak makan malam di malam ini.” Maka pada itu Ia memang tak mau makan malam saat itu.
Abu Nuaim meriwayatkan dalam al-Hilyah bahwa Hamzah bin Abdullah bin Umar berkata,”Seandainya ada makanan yang banyak pada Abdullah bin Umar. Ia tidak kenyang dengannya kecuali setelah ia menemukan teman makan.
Suatu ketika Ibnu Muthi’ menjenguknya. Ia melihat tubuhnya semakin kurus. Ia berkata kepada Shafiyyah,”Tidakkah engkau bersikap lembut kepadanya?Semoga tubuhnya pulih jika engkau membuat makanan untuknya.”
Shafiyyah menjawab,”Sesungguhnya kami selalu melakukannya. Tapi ia selalu mengajak temannya dan siapapun yang datang kepadanya untuk makan bersama. Coba bicarakan hal itu dengannya!”
Ibnu Muthi’ berkata,”Wahai Abu Abdullah!seandainya engkau bersedia mengambil makanan untukmu maka tubuhmu akan pulih kembali.”
Ia menjawab,”Saya sekarang berumur 80 tahun. Saya belum pernah kenyang. Lalu sekarang engkau ingin aku kenyang saat tidak tersisa lagi umurku kecuali sehaus keledai (kiasan untuk “usia sedikit” sebab, keledai termasuk binatang yang paling kurang tahan dengan haus. Bangsa Arab menggunakannya untuk ungkapan pembicaraan).
Banyak literatur menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar adalah shahabat terakhir yang wafat di Makkah pada 73 H. Tentang tahun wafatnya Shafiyyah binti Abi Ubaid istrinya, tidak ada riwayat pasti. Namun, indikasi menunjukan bahwa ia wafat setelah suaminya beberapa waktu kemudian. Ini didasarkan pada bukti yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa dari Nafi’,” Shafiyyah binti Abi Ubaid mengeluhkan sakit di matanya dan ia melakukan ihdad (Kondisi dimana wanita tidak berdandan dan berhias setelah kematian suaminya selama masa iddahnya) setelah kematian suaminya Abdullah bin Umar bin Khaththab. Ia tidak mengenakan celak mata, hingga kedua matanya sakit.”
Cerita ini menunjukan bahwa ia hidup hingga tahun 73 H yakni setelah meninggalnya suaminya beberapa waktu. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ibnu Sa’ad dari Fulaih bin Nafi’ senada dengan cerita diatas,”Shafiyyah sangat tua. Ia berkeliling antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya.”
Semoga Allah Merahmatinya.
Sumber:
Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’ad, IV/142, VIII/415,472
Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, III/220,238
Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajal al-Asqalani, II/296, X/360-362, XII/430
Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, VIII/292
Al-Hilyah, Abu Nuaim, I/297-298
101 Kisah Tabi’in, Hepi Andi B
No comments:
Post a Comment