Seorang Zuhud yang Syahid
“Mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!”......(Umar bin al-Khaththab)
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam sedang duduk diantara para sahabatnya; antara lain Abu Hurairah, Umar, Ali dan lainnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik generasi tabi’in adalah orang yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan mempunyai belang putih ditubuhnya. Lalu dia berdoa hingga Allah menghilangkan belang itu kecuali hanya tersisa sebentuk dirham.”(HR. Muslim dalam shahihnya No. 2542, Imam Ahmad dalam Musnadnya, I/38)
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam sedang duduk diantara para sahabatnya; antara lain Abu Hurairah, Umar, Ali dan lainnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik generasi tabi’in adalah orang yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan mempunyai belang putih ditubuhnya. Lalu dia berdoa hingga Allah menghilangkan belang itu kecuali hanya tersisa sebentuk dirham.”(HR. Muslim dalam shahihnya No. 2542, Imam Ahmad dalam Musnadnya, I/38)
Beliau adalah Uwais al-Qarni adalah teladan bagi orang yang zuhud. Ia adalah salah seorang dari delapan orang zuhud yang menghindarkan diri dari dunia, sehingga Allah menjaga mereka dan memberikan kasih sayang dan keridhaanNya. Uwais al-Qarni adalah tokoh dari generasi tabi’in dizamannya. Demikian dituturkan Imam adz-Dzahabi. Ia juga dikenal sebagai junjungan dari orang-orang yang dikatakan oleh Allah dalam firmanNya:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. “(QS. At-Taubah:100)
Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi al-Yamani. Qarn adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad. Beliau juga termasuk satu dari wali Allah yang bertakwa.
Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam ke Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam pernah membicarakan tentang dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang sangat ia hormati.
Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam melanjutkan penjelasannya tentang sifat Uwais al-Qarni. Beliau bersabda,”Wahai Abu Hurairah!Sesungguhnya Allah mencintai dari makhluk-makhlukNya yang bersih hatinya, tersembunyi, yang baik-baik, rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, yang kosong perutnya kecuali dari hasil pekerjaan yang halal, prang-orang yang apabila meminta izin kepada para penguasa maka tidak diizinkan, jika melamar wanita-wanita yang menawan maka mereka tidak mau menikah. Jika tidak, ada mereka tidak dicari. Ketika hadir, mereka tidak diundang. Jika muncul, kemunculannya tidak disikapi dengan kegembiraan. Apabila sakit, mereka tidak dijenguk. Dan jika mati, tidak dihadiri prosesi pemakamannya.”
Para sahabat bertanya,”Bagaimana kita dapat menjadi bagian dari mereka?”
Rasul menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”
Para sahabat bertanya,”apa ciri-ciri orang yang bernama Uwais al-Qarni?”
Rasul menjawab,”Seorang yang warna bola matanya bercampur, mempunyai warna kekuning-kuningan, berbahu lebar, berbadan tegap, warna kulitnya terang, dagunya sejajar dengan dadanya, menundukan dagunya ketempat sujudnya, meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, membaca al-Qur’an lalu menangis, mengenakan sarung dari wol, pakaian atasnya dari wol, tidak dikenal penghuni bumi, terkenal dikalangan penghuni langit, apabila bersumpah atas nama Allah maka ia pasti memenuhi sumpahnya. Sungguh dibawah bahu kirinya ada cahaya berwarna putih. Sungguh, ketika hari kiamat diperintahkan kepada para hamba,”Masuklah kalian ke dalam surga.” Dan dikatakan kepada Uwais,”Berhentilah!Berilah syafaat!’lalu Allah memberikan hak syafaat kepadanya untuk menolong sejumlah orang dari suku Rabi’ah dan Mudhar (dua kabilah bangsa Arab). Wahai Umar, wahai Ali! Apabila kalian berdua bertemu dengannya maka mintalah kepadanya agar kiranya ia memintakan ampunan untuk kalian, maka Allah akan mengampuni kalian berdua.”
Ini adalah awal dari sejarah perjalanan hidup Uwais. Bagaimana gerangan dengan kabar gembira yang diberikan Allah kepadanya.
Belasan tahun pun berlalu...
Jika didatangi delegasi dari penduduk Yaman, Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada mereka,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?”Dalam memorinya, ia selalu teringat cerita Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam tentang sosol Uwais. Karena itu, Umar secara khusus menanyakan nama dan sosok pribadinya. Marilah kita simak cerita Umar.
Suatu hari, datang rombongan dari Yaman. Seperti biasa Umar berdiri dan selalu menanyakan,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?Mereka menjawab,”Ya”
Lalu Umar berjalan menghampiri Uwais dan bertanya,”Engkau Uwais bin Amir?”
Orang itu menjawab,”Ya”
Umar berkata,”Drai suku Murad dan Qarn?”
Dia menjawab,”Ya”
Umar bertanya,”Apakah engkau dahulu mempunyai penyakit belang (kusta), lalu Allah menyembuhkanmu dari penyakit itu kecuali sebentuk dirham yang tersisa?”
Uwais menjawab,”Ya”
Umar bertanya lagi,”Apakah engkau mempunyai seorang ibu?”
Dia menjawab,”Ya”
Umar bin Khaththab mengatakan,”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin Amir, dari penduduk Yaman, dari Murad dan Qarn. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta lalu sembuh, kecuali sebentuk dirham yang masih tersisa. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sangat menghormatinya. Seandainya ia bersumpah, ia pasti akan memenuhinya. Jika engkau bisa, kiranya dia memintakan ampunan untukmu, maka lakukanlah.’Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!
Lalu Uwais memintakan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Kemudian Umar berkata kepadanya,”Kemanakah engkau hendak pergi?”
Uwais menjawab,”Saya ingin pergi ke Kuffah.”
Umar mengatakan,”Tidakkah sebaiknya aku menulis surat untukmu bawa kepada penguasanya?”
Uwais menjawab,”Saya berada ditengah-tengah kebanyakan orang, itu lebih saya cintai.”
Maksudnya, ia lebih menyukai tinggal bersama-sama dengan rakyat biasa, dan bukan tokoh-tokoh masyarakat. Ia menghindarkan diri dari dunia dan tidak menginginkan sesuatu apapun dari pemilik harta dan kekuasaan.
Umar bertanya lagi kepada Uwais,”Siapa yang engkau tinggalkan di Yaman?”
Ia menjawab,”Saya meninggalkan Ibuku.”
Kemudian Umar meminta dengan sangat sekali lagi kepada Uwais agar sudi memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Umar berkata,”Mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!”
Uwais balik bertanya,”Apakah orang sepertiku memintakan ampunan untuk orang sepertimu, wahai Amiruk Mukminin?”
Umar mengulang-ngulang Permintaannya. Uwais pun memintakan ampunan untuknya dan mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah Umar bin Khaththab.”
Umar berkata kepada Uwais,”sejak hari ini, engkau adalah saudaraku dan janganlah engkau berpisah dariku!”
Sejak saat itu, Uwais berusaha lepas dari jaminan kehidupan dari Umar. Ia bermaksud menuju Kuffah untuk mencari rezeki, mendekatkan diri dengan para ulama dan orang-orang yang zuhud di bumi Irak. Di sana ia menemui berbagai kesulitan yang tidak tergambarkan. Karena sikap zuhudnya dari dunia, di Kuffah ada orang yang mencaci makinya hingga menyakiti hatinya dan mengejeknya dengan ejekan yang menjadikannnya tidak sanggup bertemu orang lain.
Tapi Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya ini dimanapun ia berada. Dia menjadikan orang membelanya dari gangguan. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat, sebagaimana Dia sepanjang waktu Maha mengetahui keadaan hamba-hambaNya yang shalih.
Saat lepas dari Umar bin Khaththab dan pergi menuju ke Kuffah, Umar berkata,”Semoga Allah memberikan kasih sayang kepadamu. Tempatmu disini hingga saya masuk ke Makkah dan membawakan untukmu nafkah dari pemberianku dan keutamaan pakaian dari pakaianku,” Kemudian Umar meyakinkannya dengan mengatakan,”Tunggulah disini wahai Uwais!Ini adalah tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu.”
Uwais menjawab,”Wahai Amirul Mukminin!Tak ada tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu. Saya tak melihatmu setelah hari ini engkau akan mengetahuiku. Wahai Amirul Mukminin! Apa gerangan yang saya lakukan dengan nafkah itu?Apa gerangan yang saya perbuat dengan pakaian itu?Tidakkah engkau lihat saya mengenakan sarung wol, pakaian atasan dari wol. Kapankah engkau melihatku merobek-robeknya. Tidakkah engkau melihat kedua terompahku yang dekil?kapankah saya merusaknya?Tidakkah engkau melihatku telah mengambil upah hasil gembala kambing sebanyak 4 dirham?Kapan engkau melihatku membelanjakannya?
Wahai Amirul Mukminin!Sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu ada pintu sempit yang sulit dimasuki kecuali rasa yang ringan dan lemah. Maka ringankanlah. Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Demikianlah gambaran sikap zuhudnya. Mendengar penuturan Uwais, Umar bin Khaththab melemparkan apa yang ada ditangannya ke tanah, seraya berteriak,”Andaikan ibu Umar tidak melahirkan Umar. Andaikan dia mandul dan tidak merawat kandungannya. Ingatlah olehmu, siapa yang mengambil dunia dengan isinya?”
Uwais menenangkan kegundahan Umar dan mengatakan,”Wahai Amirul Mukminin!Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Umar berangkat menuju Makkah mengantar kepergian Uwais. Uwais pun menggiring untanya, lalu memberikan kepada pemiliknya dan meninggalkan tempat penggembalaan. Ia berjalan menuju penyembahan kepada Allah sepanjang hidupnya.
Di Kuffah, majelisnya adalah majelis orang-orang yang zuhud. Ia menjadi pemimpin dan guru orang-orang zuhud. Dalam keyakinannya, akhirat adalah negeri yang mantap dan negeri kebenaran.
Jika kita hendak melihat Uwais di Kuffah lebih dekat, berikut penuturan salah seorang temannya dari delapan orang zuhud. Harim bin Hayyan, memberikan gambaran tentang pribadinya kepada kita.
“Saya datang ke kuffah. Tak ada tujuan bagiku kecuali menanyakan tentang Uwais. Lalu saya ditunjukkan ke arah sungai Eufrat yang ia gunakan untuk berwudhu dan mencuci pakaiannya. Saya mengucapkan salam kepadanya dan menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan. Namun ia menolak. Pelajaran berharga itu memenuhi relung hatiku saat melihat kondisinya.”
Harim tak mengenalnya sebelum menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengannya.”Saya mengenalinya dengan sifat tanda (yang dimaksudkan adalah belang kulit dengan warna kekuning-kuningan). Ternyata ia adalah orang yang warna kulitnya sangat putih (pucat) dengan rambut kepala yang plontos dan jenggot sangat tebal, sehingga menjadi penampilan yang menakutkan.”
Ketika ia menolak uluran jabat tangan, Harim kembali berkata, “Salam untukmu wahai Uwais. Bagaimana kondisimu sekarang, wahai saudaraku?”
Uwais menjawab,”Dan engkau, semoga Allah memberimu kegembiraan, wahai Harim bin Hayyan. Siapa yang menunjukannmu kepadaku?”
Harim menjawab,”Allah jualah yang menunjukanku kepadamu.”
Uwais menyitir salah satu ayat:
“Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".(QS. al-Isra:108)
Harim berkata,”Semoga Allah merahmatimu. Dari mana engkau mengenal namaku dan nama ayahku?Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihatmu sebelum hari ini. Dan engkau juga tidak pernah melihatku”.
Uwais menjawab,”Ruhku mengenal ruhmu saat saya membisikkan kepada dirikku. Sebab sesungguhnya ruh-ruh itu memiliki jiwa, seperti jiwa pada raga. Bahwa orang-orang yang beriman saling mengenal satu dengan lainnya dengan pertolongan ruh dari Allah. Meskipun berjauhan rumah dan tempat yang terpisah.”
Saat itu juga Harim duduk disamping temannya itu dan berharap dapat mendengar pelajaran darinya. Sebab sebelumnya dia telah mendengar tentang dirinya dan kezuhudannya. Suasana diam itu berlangsung lama hingga Harim memulai pembicaraan,”Ceritakanlah padaku wahai saudaraku tentang hadits dari Rasulullah agar saya menghapalnya darimu.”
Ia menjawab,”Saya tidak mengalami hidup dimasa Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam. Saya tidak pernah menjadi sahabat beliau. Saya banyak bertemu dengan orang-orang yang melihatnya. Haditsnya telah sampai kepadaku seperti juga telah sampai kepada kalian. Sedang saya tidak suka membuka pembahasan ini pada diriku. Saya tidak ingin menjadi hakim atau mufti. Dalam diriku ada kesibukan dan menyibukan diri. Tak ada waktu luang untuk berbicara. Saya hanya beramal untuk kehidupan akhiratku.”
Harim mengatakan,” Kalau begitu, kami akan mendengar ayat-ayat kitab Allah dari bacaanmu. Berdoalah kepada Allah untukku dengan doa-doa. Dan berilah saya suatu wasiat.”
Saat itu, sungai eufrat mengering, semilir udara sungai berhembus diatas kepada kedua orang yang zuhud iru: Uwais dan Ibnu Hayyan. Lalu Uwais menggamit tengan temannya ini dan mengajak berjalan ditepian sungai Eufrat sambil berbincang-bincang . Ia mengatakan,” Tuhanku! Sejujur-jujurnya perkataan adalah perkataan Tuhanku. Sebenar-benar pembicaraan adalah dari Tuhanku. Tuhanku! Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk,” Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya, (QS.ad-Dukhan:40).
Kemudian Uwais menghela napas berat setelah membaca ayat ini. Temannya Harim bin Hayyan mengiranya sedang tak sadarkan diri. Lalu Uwais kembali membaca ayat: ”Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfa'at kepada karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. “(QS.ad-Dukhan:41-42).
Uwais memandang kearah Harim dan berkata,” Wahai Harim bin Hayyan! Ayahmu telah meninggal dan engkau hampir meninggal dunia. Antara dua pilihan tempat, surga atau neraka. Adam telah meninggal dan juga Hawa, Wahai Ibnu Hayyan. Ibrahim kekasih Allah telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Musa, nabi yang Allah selamatkan juga telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Muhammad Shallallahu Aalaihi wa Sallam telah meninggal. Abu Bakar, Khalifah kaum muslimin telah meninggal, dan saudaraku, temanku, kekasihku, Umar telah meninggal.” Kemudian ia memanggil nama Umar dengan keras,” Wahai Umar...wahai Umar...”
Harim menyela,”Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya Umar belum meninggal!”
Uwais menjawab,”Ya, benar. Sesungguhnya Tuhanku telah memberikan berita duka tentang kematiannya kepadaku. Saya mengetahui apa yang saya katakan. Saya dan engkau, besok akan menjadi bagian dari orang-orang yang sudah mati.”
Kemudian ia mendoakan Harim dengan doa yang pendek.”Ini adalah wasiatku kepadamu wahai Ibnu Hayyan. Adalah kitab Allah dan berita-berita duka tentang kematian orang-orang yang shalih dari golongan kaum muslimin. Saya beritahukan kepadamu tentang berita kematianku. Sebaiknya engkau selalu mengingat mati. Jika engkau mampu, agar ingatanmu itu tidak lepas dari hatimu sedetik saja, maka lakukanlah!Beritakan hal ini kepada kaummu setelah engkau kembali kepada mereka. Bersungguh-sungguh untuk dirimu. Jangan sekali-kali memisahkan dirimu dari jama’ah, karena engkau memisahkan agamamu sedang engkau tidak merasakannya, hingga engkau mati dan masuk ke dalam neraka di hari Kiamat kelak.
Kemudian ia menengadahkan muka ke langit dan berdoa,”Ya Allah, orang itu mengaku mencintaiku dalam mencari keridhaanMu. Dia mengunjungiku karenaMu. Pertemukanlah dia denganku sebagai pengunjung surga, negeri kedamaian. Relakanlah untuknya bagian yang sedikit dari dunia dan apa yang Engkau berikan kepadanya sesuatu dari dunia. Jadikanlah dia dalam kemudahan dan perlindungan. Jadikanlah amal perbuatan yang Engkau berikan itu menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur.”
Uwais menjabat tangan Harim, dan memeganginya seraya berkata,”Saya menitipkanmu kepada Allah, wahai Harim bin Hayyan. Selamat jalan!Jangan lagi mencariku dan bertanya tentangku. Saya akan selalu mengingatmu dan insyaAllah akan selalu mendoakanmu.”
Kemudian ia memberikan isyarat dengan tangannya,”Berangkatlah dari arah ini.”
Kemudian Harim pun pergi. Harim memintanya untuk berjalan bersamanya. Namun ia menolak dan berpisah dengannya seraya menangis, sementara Harim juga menangis.
Harim menceritakan:
Kemudian Uwais masuk ke suatu parit dan menghilang dari pandanganku. Berapa kali saya mencoba bertemu dengannya setelah hari itu, namun tidak menemukan seorang pun yang memberitahukan tentang keberadaannya. Saya kembali ke Bashrah, tempat saya pertama kali mencari Uwais. Di Kuffah ia menghabiskan hari-hari ibadahnya. Saya mengingatnya, hingga menemukan banyak kelembutan dan kejernihan dari pembicaraannya tentang zuhud dan orang-orang zuhud. Suatu sore, ia pernah mengatakan:”Ini adalah malam ruku.”Maka ia melakukan ruku (sholat) hingga Shubuh menyingsing.”
Suatu sore, ia juga berkata:”Ini adalah malam sujud.”Maka ia melakukan sujud hingga waktu Shubuh.”. Ia juga menyedekahkan apa saja yang ada dirumahnya, mulai dari makanan dan pakaian, lalu ia berucap,”Ya Allah!Siapapun yang mati kelaparan, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya. Siapapun yang mati dan tidak mempunyai pakaian, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya.”
Saat sedang duduk didepan masjid Kufah, ada seseorang dari kaum Murad lewat. Lalu ia menyapanya,”Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai saudara dari suku Murad?”
Orang itu menjawab,”Pagi ini, saya memuji Allah.”
Lalu orang itu balik bertanya,”Bagaimana masa melewati hidupmu?”
Uwais menjawab,”Bagaimana dengan masa bagi seorang yang ketika pagi ia mengira tidak ketemu sore. Dan ketika sore, ia mengira tidak bertemu pagi. Apakah ia akan dapatkan surga atau neraka?Wahai saudara dari Murad, sesungguhnya mati dan mengingatnya tidak menyisakan kegembiraan bagi seorang mukmin. Ilmu dan keyakinannya dengan hak-hak Allah sehingga tidak menyisakan hartanya, baik emas atau perak. Aktivitasnya pada kebenaran tidak meninggalkan teman baik untuknya.”
Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh ini:
Pertama, pengetahuan dan keyakinannya tentang hak-hak Allah. Ia tak menyisakan sesuatu dari hartanya, karena begitu kuatnya kecintaannya untuk menunaikan hak-hak itu dan perasaannya bahwa semua hartanya adalah milik Allah.
Kedua, kecenderungannya pada kebenaran dan perkataan yang benar. Ia tak menarik kekaguman dari banyak orang. Begitu kukuhnya ia, sehingga tak menyisakan seorang teman baginya. Semua temannya menjauh darinya.
Semoga Allah merahmati hamba yang zuhud ini. Ia telah mengutarakan tentang kedalaman Islam. Sementara kita sangat jauh dari sifat ini. Bukankah sikap zuhud mencakup sikap qan’ah (menerima apa adanya) berupa harta duniawi. Semua sifat itu tampak jelas keagungannya dalam pribadi Uwais.
Orang-orang yang hidup semasa dengannya banyak menuturkan potret zuhudnya di Kufah sepanjang hidupnya hingga menemui Tuhannya. Diantaranya adalah Usaid bin Jabir, salah seorang teman dekatnya.
“Dulu di Kufah ada seorang yang mengucapkan sesuatu yang tidak saya dengar dari siapapun mengatakannya. Lalu saya kehilangan dirinya dan tidak menjumpainya, hingga saya menanyakan tentang dirinya. Orang-orang menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”
Saya mencarinya dan mendatanginya, lalu berkata,”Apa yang membuatmu menghindari kami, wahai Uwais? Kami tak melihatmu duduk untuk berbicara dengan kami?”Lalu ia memandangi pakaiannya yang lusuh, sebelumnya banyak orang yang mengejeknya dan mengganggunya karena penampilannya yang buruk.
Usaid bin Jabir berkata,”Ambillah kain beludruku ini untukmu kenakan!” Ia menolak pemberian itu. Usaid terus membujuknya sampai ia mau menerimanya. Uwais pun berkata,”Sesungguhnya mereka akan terus menyakitiku ketika mereka melihat kain beludrumu ini dipundakku.”
Usaid pergi menemui orang-orang yang dimaksud dan mengatakan,”Apa yang kalian inginkan dari orang ini?Kalian telah menyakitinya. Bukankah orang ini suatu ketika tak berpakaian, tapi mengenakan pakaian pada kesempatan lain?”Usaid terus memarahi mereka dengan keras dan tegas.
Hari-hari berlalu. Orang-orang yang telah mengejek Uwais ini pergi menghadap Umar bin Khaththab di Madinah. Diantara pembicaraan Umar kepada mereka ini,”Apakah ditengah-tengah kalian ada seseorang dari suku al-qarn?”Mereka menjawab,”Ya, ia bernama Uwais.
Umar berkata,’’Sesungguhnya orang itu berasal dari Yaman, Namanya Uwais. Ia tak meninggalkan seseorang di Yaman kecuali Ibunya. Dulu ia terkena penyakit kusta .Lalu ia berdoa, hingga Allah menghilangkan penyakit itu kecuali masih tersisa sebesar uang dirham. Siapapun dari kalian yang bertemu dengannya, hendaknya kalian menyuruhnya untuk mendoakan kalian, saya telah mengetahui bahwa ia berada ditengah-tengah kalian di Kufah.
Umar menuturkan ciri-ciri ia kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata,”Itulah orangnya yang selalu kami ejek dan caci maki.”
Umar berkata, Uwais?”
Sorang dari Kufah itu menjawab,”Dialah Uwais, wahai Amirul Mukminin.”
Umar berkata,”Temukanlah ia!Temukanlah ia! Aku tidak melihatmu memahami apa aku katakan. Temukanlah Uwais!” Maka orang itu kembali ke Kufah, lalu menemui Uwais sebelum pulang kerumahnya. Uwais berkata kepadanya ketika ia melihatnya datang menemuinya,”Tunggu dulu. Ini tidak seperti kebiasaanmu. Apa yang terjadi denganmu?Saya mohon kepadamu, jangan engkau ulangi ejekanmu.”
Orang itu menjawab,”Saya bertemu Umar dan mengatakan demikian. Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai paman!”
Uwais menjawab,”Saya tidak memintakan ampunan untukmu hingga engkau menjadikan diriku sama denganmu untuk tidak mengejekkku lagi. Jangan sekali-kali engkau ceritakan perkataan Umar ini kepada siapapun.”
Orang itu meyakinkan,”Engkau dapatkan hakmu itu.”
Lalu ia memintakan ampunan untuknya dan pergi.
Namun pembicaraan yang dimaksud telah menyebar di seantero Kufah. Penduduknya pun berniat memuliakan dan mengagungkannya ketika mendengar cerita tersebut. Uwais menyingkir menuju ke tempat persembunyiannya demi menghindari kedudukan dan kekuasaan dunia.
Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah guru besar zuhud yang sebenarnya. Ia tak mempunyai pakaian, bukan karena sedikitnya bantuan kepadanya atau karena kebutuhannya. Tapi seperti yang diceritakan oleh orang-orang semasanya,”Uwais al-Qarni sering bersedekah dengan pakaiannya. Pernah suatu ketika, ia duduk tanpa pakaian kecuali sesuatu yang menutup auratnya. Ia dan juga tidak mendapati sesuatu yang pantas menuju sholat Jum’at.”
Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah seorang yang tsiqah dan jujur. Hingga Umar bin Khathab sering memujinya. Inilah pujian Umar yang mengumandang di Mina di atas mimbar, “Wahai penduduk Qarn.”Tokoh-tokoh penduduk Qarn lalu berdiri. Umar bertanya,”Apakah Uwais sekarang berada ditengah kalian?
Salah seorang tokoh menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, itu adalah orang gila yang tinggal di gubuk. Ia tidak bisa lembut dan tidak dapat diperlakukan lembut.”
Umar berkata,”Itulah orang yang aku maksudkan. Jika kalian pulang, carilah dia!Sampaikan salamku dan salam Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam kepadanya.”
Ketika pesan Umar ini sampai pada Uwais, ia berkata,”Amirul Mukminin telah memperkenalkanku dan membuat namaku tersebar. Ya Allah, semoga engkau memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada Muhammad dan kepada keluarganya. Salam unutk Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam.”
Setelah itu, Uwais lagi-lagi bersembunyi. Ia selalu bersikap seperti ini untuk kurun waktu yang lama. Ia senantiasa mengajak umat manusia dan menjadi ikon dalam zuhud. Ia adalah orang yang menjadikan banyak umat Muhammad ini masuk surga dengan syafaatnya, selain dari suku Mudhar dan suku Tamim.
Masa pemerintahan Umar terkenal dengan pembukaan wilayah-wilayah Islam. Peperangan paling sengit adalah peperangan kaum muslimin di Azerbaijan. Wilayah ini berhasil di taklukan, sehingga berkibarlah panji-panji Islam. Berikut ini adalaj Abdullah bin Salamah, seorang pahlawan perang di Azerbaijan, tentang Uwais al-Qarni:
“Kami berperang di Azerbaijan pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Dalam pasukan kami terdapat Uwais al-Qarni. Ketika kami pulang dari peperangan, kami melihat sakit menjangkitinya. Kami membawanya dan merawatnya semampu kami. Namun ia tidak tertolong hingga meninggal dunia. Lalu kami berhenti. Tiba-tiba sudah ada kuburan yang tergali. Ada air yang tertampung, juga kain kafan dan wewangian. Kami memandikannya dan mengkafaninya. Lalu kami menshalati dan menguburkannya.
Salah seorang dari kami berkata, “Seandainya kita kembali untuk mengetahui letak kuburannya.”Lalu kami kembali ke tempat yang dimaksud. Ternyata kami tidak menemukan kuburan dan juga bekas jejaknya.
Semoga Allah merahmati tokoh zuhud ini. Ia telah menghindarkan diri dari dunia.
Sumber:
HR. Muslim dalam shahihnya kitab Fadhail ash-Shahabah No.2542 dan Imam Ahmad dalam al-Musnad,I/38
Siyar A’lam an-Nubala:Imam Adz-Dzahabi, IV/19,22-23,30
Hilyah al-Auliyah’ wa Thabaqath al-ashfiya’:Abu Nu’aim,II/83-85,87
Ath-Thabaqat:Inu Sa’ad,VI/60
101 Kisah Tabi’in
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. “(QS. At-Taubah:100)
Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi al-Yamani. Qarn adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad. Beliau juga termasuk satu dari wali Allah yang bertakwa.
Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam ke Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam pernah membicarakan tentang dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang sangat ia hormati.
Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam melanjutkan penjelasannya tentang sifat Uwais al-Qarni. Beliau bersabda,”Wahai Abu Hurairah!Sesungguhnya Allah mencintai dari makhluk-makhlukNya yang bersih hatinya, tersembunyi, yang baik-baik, rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, yang kosong perutnya kecuali dari hasil pekerjaan yang halal, prang-orang yang apabila meminta izin kepada para penguasa maka tidak diizinkan, jika melamar wanita-wanita yang menawan maka mereka tidak mau menikah. Jika tidak, ada mereka tidak dicari. Ketika hadir, mereka tidak diundang. Jika muncul, kemunculannya tidak disikapi dengan kegembiraan. Apabila sakit, mereka tidak dijenguk. Dan jika mati, tidak dihadiri prosesi pemakamannya.”
Para sahabat bertanya,”Bagaimana kita dapat menjadi bagian dari mereka?”
Rasul menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”
Para sahabat bertanya,”apa ciri-ciri orang yang bernama Uwais al-Qarni?”
Rasul menjawab,”Seorang yang warna bola matanya bercampur, mempunyai warna kekuning-kuningan, berbahu lebar, berbadan tegap, warna kulitnya terang, dagunya sejajar dengan dadanya, menundukan dagunya ketempat sujudnya, meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, membaca al-Qur’an lalu menangis, mengenakan sarung dari wol, pakaian atasnya dari wol, tidak dikenal penghuni bumi, terkenal dikalangan penghuni langit, apabila bersumpah atas nama Allah maka ia pasti memenuhi sumpahnya. Sungguh dibawah bahu kirinya ada cahaya berwarna putih. Sungguh, ketika hari kiamat diperintahkan kepada para hamba,”Masuklah kalian ke dalam surga.” Dan dikatakan kepada Uwais,”Berhentilah!Berilah syafaat!’lalu Allah memberikan hak syafaat kepadanya untuk menolong sejumlah orang dari suku Rabi’ah dan Mudhar (dua kabilah bangsa Arab). Wahai Umar, wahai Ali! Apabila kalian berdua bertemu dengannya maka mintalah kepadanya agar kiranya ia memintakan ampunan untuk kalian, maka Allah akan mengampuni kalian berdua.”
Ini adalah awal dari sejarah perjalanan hidup Uwais. Bagaimana gerangan dengan kabar gembira yang diberikan Allah kepadanya.
Belasan tahun pun berlalu...
Jika didatangi delegasi dari penduduk Yaman, Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada mereka,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?”Dalam memorinya, ia selalu teringat cerita Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam tentang sosol Uwais. Karena itu, Umar secara khusus menanyakan nama dan sosok pribadinya. Marilah kita simak cerita Umar.
Suatu hari, datang rombongan dari Yaman. Seperti biasa Umar berdiri dan selalu menanyakan,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?Mereka menjawab,”Ya”
Lalu Umar berjalan menghampiri Uwais dan bertanya,”Engkau Uwais bin Amir?”
Orang itu menjawab,”Ya”
Umar berkata,”Drai suku Murad dan Qarn?”
Dia menjawab,”Ya”
Umar bertanya,”Apakah engkau dahulu mempunyai penyakit belang (kusta), lalu Allah menyembuhkanmu dari penyakit itu kecuali sebentuk dirham yang tersisa?”
Uwais menjawab,”Ya”
Umar bertanya lagi,”Apakah engkau mempunyai seorang ibu?”
Dia menjawab,”Ya”
Umar bin Khaththab mengatakan,”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin Amir, dari penduduk Yaman, dari Murad dan Qarn. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta lalu sembuh, kecuali sebentuk dirham yang masih tersisa. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sangat menghormatinya. Seandainya ia bersumpah, ia pasti akan memenuhinya. Jika engkau bisa, kiranya dia memintakan ampunan untukmu, maka lakukanlah.’Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!
Lalu Uwais memintakan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Kemudian Umar berkata kepadanya,”Kemanakah engkau hendak pergi?”
Uwais menjawab,”Saya ingin pergi ke Kuffah.”
Umar mengatakan,”Tidakkah sebaiknya aku menulis surat untukmu bawa kepada penguasanya?”
Uwais menjawab,”Saya berada ditengah-tengah kebanyakan orang, itu lebih saya cintai.”
Maksudnya, ia lebih menyukai tinggal bersama-sama dengan rakyat biasa, dan bukan tokoh-tokoh masyarakat. Ia menghindarkan diri dari dunia dan tidak menginginkan sesuatu apapun dari pemilik harta dan kekuasaan.
Umar bertanya lagi kepada Uwais,”Siapa yang engkau tinggalkan di Yaman?”
Ia menjawab,”Saya meninggalkan Ibuku.”
Kemudian Umar meminta dengan sangat sekali lagi kepada Uwais agar sudi memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Umar berkata,”Mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!”
Uwais balik bertanya,”Apakah orang sepertiku memintakan ampunan untuk orang sepertimu, wahai Amiruk Mukminin?”
Umar mengulang-ngulang Permintaannya. Uwais pun memintakan ampunan untuknya dan mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah Umar bin Khaththab.”
Umar berkata kepada Uwais,”sejak hari ini, engkau adalah saudaraku dan janganlah engkau berpisah dariku!”
Sejak saat itu, Uwais berusaha lepas dari jaminan kehidupan dari Umar. Ia bermaksud menuju Kuffah untuk mencari rezeki, mendekatkan diri dengan para ulama dan orang-orang yang zuhud di bumi Irak. Di sana ia menemui berbagai kesulitan yang tidak tergambarkan. Karena sikap zuhudnya dari dunia, di Kuffah ada orang yang mencaci makinya hingga menyakiti hatinya dan mengejeknya dengan ejekan yang menjadikannnya tidak sanggup bertemu orang lain.
Tapi Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya ini dimanapun ia berada. Dia menjadikan orang membelanya dari gangguan. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat, sebagaimana Dia sepanjang waktu Maha mengetahui keadaan hamba-hambaNya yang shalih.
Saat lepas dari Umar bin Khaththab dan pergi menuju ke Kuffah, Umar berkata,”Semoga Allah memberikan kasih sayang kepadamu. Tempatmu disini hingga saya masuk ke Makkah dan membawakan untukmu nafkah dari pemberianku dan keutamaan pakaian dari pakaianku,” Kemudian Umar meyakinkannya dengan mengatakan,”Tunggulah disini wahai Uwais!Ini adalah tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu.”
Uwais menjawab,”Wahai Amirul Mukminin!Tak ada tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu. Saya tak melihatmu setelah hari ini engkau akan mengetahuiku. Wahai Amirul Mukminin! Apa gerangan yang saya lakukan dengan nafkah itu?Apa gerangan yang saya perbuat dengan pakaian itu?Tidakkah engkau lihat saya mengenakan sarung wol, pakaian atasan dari wol. Kapankah engkau melihatku merobek-robeknya. Tidakkah engkau melihat kedua terompahku yang dekil?kapankah saya merusaknya?Tidakkah engkau melihatku telah mengambil upah hasil gembala kambing sebanyak 4 dirham?Kapan engkau melihatku membelanjakannya?
Wahai Amirul Mukminin!Sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu ada pintu sempit yang sulit dimasuki kecuali rasa yang ringan dan lemah. Maka ringankanlah. Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Demikianlah gambaran sikap zuhudnya. Mendengar penuturan Uwais, Umar bin Khaththab melemparkan apa yang ada ditangannya ke tanah, seraya berteriak,”Andaikan ibu Umar tidak melahirkan Umar. Andaikan dia mandul dan tidak merawat kandungannya. Ingatlah olehmu, siapa yang mengambil dunia dengan isinya?”
Uwais menenangkan kegundahan Umar dan mengatakan,”Wahai Amirul Mukminin!Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Umar berangkat menuju Makkah mengantar kepergian Uwais. Uwais pun menggiring untanya, lalu memberikan kepada pemiliknya dan meninggalkan tempat penggembalaan. Ia berjalan menuju penyembahan kepada Allah sepanjang hidupnya.
Di Kuffah, majelisnya adalah majelis orang-orang yang zuhud. Ia menjadi pemimpin dan guru orang-orang zuhud. Dalam keyakinannya, akhirat adalah negeri yang mantap dan negeri kebenaran.
Jika kita hendak melihat Uwais di Kuffah lebih dekat, berikut penuturan salah seorang temannya dari delapan orang zuhud. Harim bin Hayyan, memberikan gambaran tentang pribadinya kepada kita.
“Saya datang ke kuffah. Tak ada tujuan bagiku kecuali menanyakan tentang Uwais. Lalu saya ditunjukkan ke arah sungai Eufrat yang ia gunakan untuk berwudhu dan mencuci pakaiannya. Saya mengucapkan salam kepadanya dan menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan. Namun ia menolak. Pelajaran berharga itu memenuhi relung hatiku saat melihat kondisinya.”
Harim tak mengenalnya sebelum menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengannya.”Saya mengenalinya dengan sifat tanda (yang dimaksudkan adalah belang kulit dengan warna kekuning-kuningan). Ternyata ia adalah orang yang warna kulitnya sangat putih (pucat) dengan rambut kepala yang plontos dan jenggot sangat tebal, sehingga menjadi penampilan yang menakutkan.”
Ketika ia menolak uluran jabat tangan, Harim kembali berkata, “Salam untukmu wahai Uwais. Bagaimana kondisimu sekarang, wahai saudaraku?”
Uwais menjawab,”Dan engkau, semoga Allah memberimu kegembiraan, wahai Harim bin Hayyan. Siapa yang menunjukannmu kepadaku?”
Harim menjawab,”Allah jualah yang menunjukanku kepadamu.”
Uwais menyitir salah satu ayat:
“Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".(QS. al-Isra:108)
Harim berkata,”Semoga Allah merahmatimu. Dari mana engkau mengenal namaku dan nama ayahku?Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihatmu sebelum hari ini. Dan engkau juga tidak pernah melihatku”.
Uwais menjawab,”Ruhku mengenal ruhmu saat saya membisikkan kepada dirikku. Sebab sesungguhnya ruh-ruh itu memiliki jiwa, seperti jiwa pada raga. Bahwa orang-orang yang beriman saling mengenal satu dengan lainnya dengan pertolongan ruh dari Allah. Meskipun berjauhan rumah dan tempat yang terpisah.”
Saat itu juga Harim duduk disamping temannya itu dan berharap dapat mendengar pelajaran darinya. Sebab sebelumnya dia telah mendengar tentang dirinya dan kezuhudannya. Suasana diam itu berlangsung lama hingga Harim memulai pembicaraan,”Ceritakanlah padaku wahai saudaraku tentang hadits dari Rasulullah agar saya menghapalnya darimu.”
Ia menjawab,”Saya tidak mengalami hidup dimasa Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam. Saya tidak pernah menjadi sahabat beliau. Saya banyak bertemu dengan orang-orang yang melihatnya. Haditsnya telah sampai kepadaku seperti juga telah sampai kepada kalian. Sedang saya tidak suka membuka pembahasan ini pada diriku. Saya tidak ingin menjadi hakim atau mufti. Dalam diriku ada kesibukan dan menyibukan diri. Tak ada waktu luang untuk berbicara. Saya hanya beramal untuk kehidupan akhiratku.”
Harim mengatakan,” Kalau begitu, kami akan mendengar ayat-ayat kitab Allah dari bacaanmu. Berdoalah kepada Allah untukku dengan doa-doa. Dan berilah saya suatu wasiat.”
Saat itu, sungai eufrat mengering, semilir udara sungai berhembus diatas kepada kedua orang yang zuhud iru: Uwais dan Ibnu Hayyan. Lalu Uwais menggamit tengan temannya ini dan mengajak berjalan ditepian sungai Eufrat sambil berbincang-bincang . Ia mengatakan,” Tuhanku! Sejujur-jujurnya perkataan adalah perkataan Tuhanku. Sebenar-benar pembicaraan adalah dari Tuhanku. Tuhanku! Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk,” Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya, (QS.ad-Dukhan:40).
Kemudian Uwais menghela napas berat setelah membaca ayat ini. Temannya Harim bin Hayyan mengiranya sedang tak sadarkan diri. Lalu Uwais kembali membaca ayat: ”Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfa'at kepada karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. “(QS.ad-Dukhan:41-42).
Uwais memandang kearah Harim dan berkata,” Wahai Harim bin Hayyan! Ayahmu telah meninggal dan engkau hampir meninggal dunia. Antara dua pilihan tempat, surga atau neraka. Adam telah meninggal dan juga Hawa, Wahai Ibnu Hayyan. Ibrahim kekasih Allah telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Musa, nabi yang Allah selamatkan juga telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Muhammad Shallallahu Aalaihi wa Sallam telah meninggal. Abu Bakar, Khalifah kaum muslimin telah meninggal, dan saudaraku, temanku, kekasihku, Umar telah meninggal.” Kemudian ia memanggil nama Umar dengan keras,” Wahai Umar...wahai Umar...”
Harim menyela,”Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya Umar belum meninggal!”
Uwais menjawab,”Ya, benar. Sesungguhnya Tuhanku telah memberikan berita duka tentang kematiannya kepadaku. Saya mengetahui apa yang saya katakan. Saya dan engkau, besok akan menjadi bagian dari orang-orang yang sudah mati.”
Kemudian ia mendoakan Harim dengan doa yang pendek.”Ini adalah wasiatku kepadamu wahai Ibnu Hayyan. Adalah kitab Allah dan berita-berita duka tentang kematian orang-orang yang shalih dari golongan kaum muslimin. Saya beritahukan kepadamu tentang berita kematianku. Sebaiknya engkau selalu mengingat mati. Jika engkau mampu, agar ingatanmu itu tidak lepas dari hatimu sedetik saja, maka lakukanlah!Beritakan hal ini kepada kaummu setelah engkau kembali kepada mereka. Bersungguh-sungguh untuk dirimu. Jangan sekali-kali memisahkan dirimu dari jama’ah, karena engkau memisahkan agamamu sedang engkau tidak merasakannya, hingga engkau mati dan masuk ke dalam neraka di hari Kiamat kelak.
Kemudian ia menengadahkan muka ke langit dan berdoa,”Ya Allah, orang itu mengaku mencintaiku dalam mencari keridhaanMu. Dia mengunjungiku karenaMu. Pertemukanlah dia denganku sebagai pengunjung surga, negeri kedamaian. Relakanlah untuknya bagian yang sedikit dari dunia dan apa yang Engkau berikan kepadanya sesuatu dari dunia. Jadikanlah dia dalam kemudahan dan perlindungan. Jadikanlah amal perbuatan yang Engkau berikan itu menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur.”
Uwais menjabat tangan Harim, dan memeganginya seraya berkata,”Saya menitipkanmu kepada Allah, wahai Harim bin Hayyan. Selamat jalan!Jangan lagi mencariku dan bertanya tentangku. Saya akan selalu mengingatmu dan insyaAllah akan selalu mendoakanmu.”
Kemudian ia memberikan isyarat dengan tangannya,”Berangkatlah dari arah ini.”
Kemudian Harim pun pergi. Harim memintanya untuk berjalan bersamanya. Namun ia menolak dan berpisah dengannya seraya menangis, sementara Harim juga menangis.
Harim menceritakan:
Kemudian Uwais masuk ke suatu parit dan menghilang dari pandanganku. Berapa kali saya mencoba bertemu dengannya setelah hari itu, namun tidak menemukan seorang pun yang memberitahukan tentang keberadaannya. Saya kembali ke Bashrah, tempat saya pertama kali mencari Uwais. Di Kuffah ia menghabiskan hari-hari ibadahnya. Saya mengingatnya, hingga menemukan banyak kelembutan dan kejernihan dari pembicaraannya tentang zuhud dan orang-orang zuhud. Suatu sore, ia pernah mengatakan:”Ini adalah malam ruku.”Maka ia melakukan ruku (sholat) hingga Shubuh menyingsing.”
Suatu sore, ia juga berkata:”Ini adalah malam sujud.”Maka ia melakukan sujud hingga waktu Shubuh.”. Ia juga menyedekahkan apa saja yang ada dirumahnya, mulai dari makanan dan pakaian, lalu ia berucap,”Ya Allah!Siapapun yang mati kelaparan, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya. Siapapun yang mati dan tidak mempunyai pakaian, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya.”
Saat sedang duduk didepan masjid Kufah, ada seseorang dari kaum Murad lewat. Lalu ia menyapanya,”Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai saudara dari suku Murad?”
Orang itu menjawab,”Pagi ini, saya memuji Allah.”
Lalu orang itu balik bertanya,”Bagaimana masa melewati hidupmu?”
Uwais menjawab,”Bagaimana dengan masa bagi seorang yang ketika pagi ia mengira tidak ketemu sore. Dan ketika sore, ia mengira tidak bertemu pagi. Apakah ia akan dapatkan surga atau neraka?Wahai saudara dari Murad, sesungguhnya mati dan mengingatnya tidak menyisakan kegembiraan bagi seorang mukmin. Ilmu dan keyakinannya dengan hak-hak Allah sehingga tidak menyisakan hartanya, baik emas atau perak. Aktivitasnya pada kebenaran tidak meninggalkan teman baik untuknya.”
Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh ini:
Pertama, pengetahuan dan keyakinannya tentang hak-hak Allah. Ia tak menyisakan sesuatu dari hartanya, karena begitu kuatnya kecintaannya untuk menunaikan hak-hak itu dan perasaannya bahwa semua hartanya adalah milik Allah.
Kedua, kecenderungannya pada kebenaran dan perkataan yang benar. Ia tak menarik kekaguman dari banyak orang. Begitu kukuhnya ia, sehingga tak menyisakan seorang teman baginya. Semua temannya menjauh darinya.
Semoga Allah merahmati hamba yang zuhud ini. Ia telah mengutarakan tentang kedalaman Islam. Sementara kita sangat jauh dari sifat ini. Bukankah sikap zuhud mencakup sikap qan’ah (menerima apa adanya) berupa harta duniawi. Semua sifat itu tampak jelas keagungannya dalam pribadi Uwais.
Orang-orang yang hidup semasa dengannya banyak menuturkan potret zuhudnya di Kufah sepanjang hidupnya hingga menemui Tuhannya. Diantaranya adalah Usaid bin Jabir, salah seorang teman dekatnya.
“Dulu di Kufah ada seorang yang mengucapkan sesuatu yang tidak saya dengar dari siapapun mengatakannya. Lalu saya kehilangan dirinya dan tidak menjumpainya, hingga saya menanyakan tentang dirinya. Orang-orang menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”
Saya mencarinya dan mendatanginya, lalu berkata,”Apa yang membuatmu menghindari kami, wahai Uwais? Kami tak melihatmu duduk untuk berbicara dengan kami?”Lalu ia memandangi pakaiannya yang lusuh, sebelumnya banyak orang yang mengejeknya dan mengganggunya karena penampilannya yang buruk.
Usaid bin Jabir berkata,”Ambillah kain beludruku ini untukmu kenakan!” Ia menolak pemberian itu. Usaid terus membujuknya sampai ia mau menerimanya. Uwais pun berkata,”Sesungguhnya mereka akan terus menyakitiku ketika mereka melihat kain beludrumu ini dipundakku.”
Usaid pergi menemui orang-orang yang dimaksud dan mengatakan,”Apa yang kalian inginkan dari orang ini?Kalian telah menyakitinya. Bukankah orang ini suatu ketika tak berpakaian, tapi mengenakan pakaian pada kesempatan lain?”Usaid terus memarahi mereka dengan keras dan tegas.
Hari-hari berlalu. Orang-orang yang telah mengejek Uwais ini pergi menghadap Umar bin Khaththab di Madinah. Diantara pembicaraan Umar kepada mereka ini,”Apakah ditengah-tengah kalian ada seseorang dari suku al-qarn?”Mereka menjawab,”Ya, ia bernama Uwais.
Umar berkata,’’Sesungguhnya orang itu berasal dari Yaman, Namanya Uwais. Ia tak meninggalkan seseorang di Yaman kecuali Ibunya. Dulu ia terkena penyakit kusta .Lalu ia berdoa, hingga Allah menghilangkan penyakit itu kecuali masih tersisa sebesar uang dirham. Siapapun dari kalian yang bertemu dengannya, hendaknya kalian menyuruhnya untuk mendoakan kalian, saya telah mengetahui bahwa ia berada ditengah-tengah kalian di Kufah.
Umar menuturkan ciri-ciri ia kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata,”Itulah orangnya yang selalu kami ejek dan caci maki.”
Umar berkata, Uwais?”
Sorang dari Kufah itu menjawab,”Dialah Uwais, wahai Amirul Mukminin.”
Umar berkata,”Temukanlah ia!Temukanlah ia! Aku tidak melihatmu memahami apa aku katakan. Temukanlah Uwais!” Maka orang itu kembali ke Kufah, lalu menemui Uwais sebelum pulang kerumahnya. Uwais berkata kepadanya ketika ia melihatnya datang menemuinya,”Tunggu dulu. Ini tidak seperti kebiasaanmu. Apa yang terjadi denganmu?Saya mohon kepadamu, jangan engkau ulangi ejekanmu.”
Orang itu menjawab,”Saya bertemu Umar dan mengatakan demikian. Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai paman!”
Uwais menjawab,”Saya tidak memintakan ampunan untukmu hingga engkau menjadikan diriku sama denganmu untuk tidak mengejekkku lagi. Jangan sekali-kali engkau ceritakan perkataan Umar ini kepada siapapun.”
Orang itu meyakinkan,”Engkau dapatkan hakmu itu.”
Lalu ia memintakan ampunan untuknya dan pergi.
Namun pembicaraan yang dimaksud telah menyebar di seantero Kufah. Penduduknya pun berniat memuliakan dan mengagungkannya ketika mendengar cerita tersebut. Uwais menyingkir menuju ke tempat persembunyiannya demi menghindari kedudukan dan kekuasaan dunia.
Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah guru besar zuhud yang sebenarnya. Ia tak mempunyai pakaian, bukan karena sedikitnya bantuan kepadanya atau karena kebutuhannya. Tapi seperti yang diceritakan oleh orang-orang semasanya,”Uwais al-Qarni sering bersedekah dengan pakaiannya. Pernah suatu ketika, ia duduk tanpa pakaian kecuali sesuatu yang menutup auratnya. Ia dan juga tidak mendapati sesuatu yang pantas menuju sholat Jum’at.”
Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah seorang yang tsiqah dan jujur. Hingga Umar bin Khathab sering memujinya. Inilah pujian Umar yang mengumandang di Mina di atas mimbar, “Wahai penduduk Qarn.”Tokoh-tokoh penduduk Qarn lalu berdiri. Umar bertanya,”Apakah Uwais sekarang berada ditengah kalian?
Salah seorang tokoh menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, itu adalah orang gila yang tinggal di gubuk. Ia tidak bisa lembut dan tidak dapat diperlakukan lembut.”
Umar berkata,”Itulah orang yang aku maksudkan. Jika kalian pulang, carilah dia!Sampaikan salamku dan salam Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam kepadanya.”
Ketika pesan Umar ini sampai pada Uwais, ia berkata,”Amirul Mukminin telah memperkenalkanku dan membuat namaku tersebar. Ya Allah, semoga engkau memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada Muhammad dan kepada keluarganya. Salam unutk Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam.”
Setelah itu, Uwais lagi-lagi bersembunyi. Ia selalu bersikap seperti ini untuk kurun waktu yang lama. Ia senantiasa mengajak umat manusia dan menjadi ikon dalam zuhud. Ia adalah orang yang menjadikan banyak umat Muhammad ini masuk surga dengan syafaatnya, selain dari suku Mudhar dan suku Tamim.
Masa pemerintahan Umar terkenal dengan pembukaan wilayah-wilayah Islam. Peperangan paling sengit adalah peperangan kaum muslimin di Azerbaijan. Wilayah ini berhasil di taklukan, sehingga berkibarlah panji-panji Islam. Berikut ini adalaj Abdullah bin Salamah, seorang pahlawan perang di Azerbaijan, tentang Uwais al-Qarni:
“Kami berperang di Azerbaijan pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Dalam pasukan kami terdapat Uwais al-Qarni. Ketika kami pulang dari peperangan, kami melihat sakit menjangkitinya. Kami membawanya dan merawatnya semampu kami. Namun ia tidak tertolong hingga meninggal dunia. Lalu kami berhenti. Tiba-tiba sudah ada kuburan yang tergali. Ada air yang tertampung, juga kain kafan dan wewangian. Kami memandikannya dan mengkafaninya. Lalu kami menshalati dan menguburkannya.
Salah seorang dari kami berkata, “Seandainya kita kembali untuk mengetahui letak kuburannya.”Lalu kami kembali ke tempat yang dimaksud. Ternyata kami tidak menemukan kuburan dan juga bekas jejaknya.
Semoga Allah merahmati tokoh zuhud ini. Ia telah menghindarkan diri dari dunia.
Sumber:
HR. Muslim dalam shahihnya kitab Fadhail ash-Shahabah No.2542 dan Imam Ahmad dalam al-Musnad,I/38
Siyar A’lam an-Nubala:Imam Adz-Dzahabi, IV/19,22-23,30
Hilyah al-Auliyah’ wa Thabaqath al-ashfiya’:Abu Nu’aim,II/83-85,87
Ath-Thabaqat:Inu Sa’ad,VI/60
101 Kisah Tabi’in
boleh semak semula hadis no. 2542 kerana apabila saya rujuk hadis tersebut, maksudnya lain.
ReplyDeleteassalamualaikumm.. akhy ana izin share kisah uways al-qorni ini ya.. syukron?
ReplyDeletesubhanallah
ReplyDeleteHadith 2543 - Bab Puasa
ReplyDeleteAssalamualaikum. Izin Copy Jazakallahu khoiron
ReplyDeleteAssalamu 'alaikum.. Wr.Wb. izin juga kopy ya....!! kisahnya. trimksih bnyak
ReplyDelete.
ReplyDelete