Friday, June 10, 2011

Keajaiban yang aku lihat sendiri 4








Alhamdulillah...diperlihatkan lagi padaku tanda-tanda KebesaranNya, Awan berbentuk Lafadz Allah dibumi Yogyakarta, kemarin sore ( 9 Juni 2011) pukul 17.30 WIB didaerah Deresan (Ringroad Utara) sewaktu perjalanan pulang.
"Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."(QS. Al-Baqarah:164)

Friday, May 27, 2011

Kisah Shafiyyah binti Abi Ubaid Rah.a (Tabi'in)

Istri Yang Mendamba Cinta Suami

“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang gemar beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat mencintai dan memuliakan istrinya dalam hidupnya...” (Ibnu Katsir)

Shafiyyah binti Abi Ubaid bin Mas’ud ats-Tsaqafiyyah (Ayahnya adalah Abu Ubaid bin Mas’ud bin Amr ats-Tsaqafi. Ia masuk Islam pada masa Rasulullah SAW dan diangkat oleh Umar sebagai panglima pada tahun 13 H dan dikirimkan dalam pasukan besar menuju sebuah wilayah irak. Daerah itu menjadi nama jembatan antara wilayah Qadisiyyah dan Hirah. Dalam pertempuran itu 80 pasukan Islam gugur) adalah istri Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, dengan gelar Abu Abdurrahman al-Qurasyi al-‘Adawi, seorang imam teladan dan ulama kaum muslimin.

Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah sosok istri pilihan yang selalu membantu suami untuk konsisten dalam ketaatan pada Allah SWT. Kepribadiannya dihiasi oleh akhlak dan bimbingan suaminya sehingga menempatkannya pada posisi tertinggi wanita di masa tabi’in.

Suaminya, Ibnu Umar termasuk orang yang gemar berpuasa. Selain Umar bin Khaththab dan anaknya, para shahabat yang selalu berpuasa adalah Abu Thalhah al-Anshari dan Hamzah bin Amr. Adapun dari kalangan wanita yang gemar berpuasa asalah Ummul Mukminin Aisyah.

Dalam hal periwayatan hadits, Abdullah bin Umar termasuk di antara tujuh orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan 5374 hadits, Ibnu Umar dengan 2630 hadits, Anas bin Malik sebanyak 2286 hadits, Ummul Mukminin Aisyah dengan 2210 hadits, Abdullah bin Abbas dengan 1660 hadits, Jabir bin Abdillah dengan 1540 hadits dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadits. Abdullah bin Umar juga dikenal sebagai salah satu dari empat shahabat utama Rasul yang memiliki nama “Abdullah”

Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menempatkan Shafiyyah dalam golongan wanita perawi hadits yang tsiqah. Hal ini senada diungkapkan oleh al-Ajli,” Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah seorang perempuan Madinah, tabi’in dan tsiqah (terpercaya)

Shafiyyah pernah bertemu dengan Umar bin Khathtab dan meriwayatkan hadits darinya. Ia juga sempat bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, Hafshah binti Umar dan Ummu Salamah. Ia juga meriwayatkan hadits dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq (Salah seorang dari tujuh ahli fiqih Madinah, Mereka adalah Said bin al-Musayyib al-Makzhumi (94 H), Urwah bin az-Zubair (94 H), Abu Bakar bin Abdur Rahman (94 H), al-Qasim bin Muhammad (106 H), Ubaidillah bin Abdullah (98 H), Kharijah bin Zaid (100 H), Sulaiman bin Yasar (107 H). Ada juga beberapa ulama yang memasukan nama Salim bin Abdullah bin Umar dalam kelompok tujuh ini menggantikan al-Qasim bin Muhammad, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Alan).

Banyak orang yang meriwayatkan hadits dari Shafiyyah. Mereka adalah tokoh-tokoh tabi’in yang tsiqat dan terkenal karena ilmu dan kemulian. Diantaranya adalah anak tirinya Salim bin Abdullah bin Umar, Nafi (Bekas budak suaminya), Abdullah bin Dinar, Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, Musa bin Uqbah dan lainnya (Musa bin Uqbah bin Abi ‘Iyyasy al-Asadi at-Tabi’in yang bergelar Abu Muhammad. Ia adalah budak keluarga az-Zubair. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa Ulama tabi’in terkenal. Menurut Ibnu Sa’ad, dia adalah seorang yang tsiqah dan benar haditsnya. Ia adalah seorang yang pandai dalam bidang sejarah Rasul dan berasal dari madinah. Ia penilik kitab al-Maghazi yang sangat terkenal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad,”Hendaklah kalian membaca kitab al-Maghazi dari orang shalih, Musa bin Uqbah. Sebab ia adalah sebenar-benarnya kitab al-Maghazi.”Ibnu Ma’in dan Abu Hatim menganggapnya sebagai perawi yang tsiqah, sebagaimana Ibnu Hibban. Musa juga dikenal sebagai Mujtahid dan Mufti. Ia wafat di Madinah pada tahun 141 H).

Imam Muslim meriwayatkan hadits riwayat Shafiyyah dalam kitab Shahihnya, Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasai mencatat riwayatnya dalam Sunannya. Salah satu hadits yang ia riwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,”Seandainya ada seseorang yang selamat dari himpitan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz al-Anshari al-Asyhali.”

Dalam riwayat Nafi’,”Saya menemui Shafiyyah binti Abi Ubaid, lalu ia menceritakan sebuah hadits padaku, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila aku dapat menyaksikan seandainya seseorang terselamatkan dari himpotan kubur, maka pasti selamat pula Sa’ad bin Muadz. Telah tergabung sisi kuburnya.”

Musa bin Uqbah mengutip perkataan Nafi’, Shafiyyah binti Abi Ubaid memberitahukan kepadaku bahwa ia mendengar Umar bin Khaththab membaca dalam shalat Shubuh surah tentang Ash-hab al-Kahfi.

Imam ath-Thabari dan Ibnu Katsir menceritakan, Abdullah bin Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid ketika ayahnya, Umar bin Khaththab, tepatnya pada tahun 16 H. Ibnu Umar menuturkan,”Ayahku, Umar bin Khaththab, membayarkan mahar untukku kepada Shafiyyah binti Abi Ubaid sebanyak 400 dirham. Secara diam-diam, aku menambahkan lagi 200 dirham.”

Nafi’ juga menceritakan, “Ibnu Umar menikahi Shafiyyah binti Abi Ubaid dengan mahar 400 dirham. Lalu ia mengirim utusan padanya dengan pesan, “Jumlah seperti itu tidak cukup untuk kami.”Maka ia menambahkan 200 dirham, tanpa sepengetahuan Umar.”

Allah memberkati pernikahan Ibnu Umar. Shafiyyah melahirkan dari Abdullah bin Umar lima anak laki-laki yang semuanya menjadi ulama. Mereka adalah Abu Bakar, Abu Ubaidah, Waqid, Abdullah dan Umar, selain dua anak perempuan bernama Hafshah dan Saudah.

Shafiyyah dengan mendidik putra-putrinya dengan baik dan sungguh-sungguh, agar mengikuti pedoman keluarga besar Umar. Karenanya, suaminya memuliakannya, menghormatinya. Kesaksian akan keshalihan dan ketakwaan, Shafiyyah dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir,“Shafiyyah binti Abi Ubaid adalah wanita shalihah yang rajin beribadah. Ia adalah istri Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah sangat menghormati dan mencintai Shafiyyah sepanjang hidupnya.”

Umar bin Khaththab juga memuliakan dan menghormati menantunya, Shafiyyah binti Abi Ubaid. Ia menempatkannya pada kedudukan sesuai haknya. Meski demikian, tak mungkin ia lebih mendahulukannya daripada orang yang lebih berhak, baik karena hubungan kerabat dengannya maupun karena kedudukannya, kedudukan ayahnya atau bahkan sampai anaknya sendiri Abdullah. Umar selalu memberikan setiap orang sesuai haknya. Pada tahun 16 H, di awal pernikahan Shafiyyah, kaum muslimin banyak memperoleh kemenangan dalam perjuangan menyebarkan Islam. Mereka mendapatkan banyak ghanimah dari negeri-negeri penaklukan di wilayah timur. Umar dikirimi banyak ghanimah di Madinah dan diberi kain-kain sarung yang terbuat dari kapas halus atau sutera, salah satunya terlihat sangat bagus dan lebar.

Sebagian shahabat yang hadir dalam pertemuan itu kagum dengan kain sarung tersebut. Ada yang berkata,”Kain sarung yang harganya sekian, seandainya engkau kirimkan pada istri Abdullah bin Umar, Shafiyyah binti Abi Ubaid, sebab mereka berdua adalah pengantin baru.”

Pernyataan itu tidak didiamkan oleh Umar. Ia pun berkata,”kirimkan ini kepada orang yang lebih berhak darinya, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab. Sebab saya pernah mendengar Rasulullah saat perang Uhud bersabda,”Saya tidak menoleh ke arah kanan atau kiri kecuali saya selalu melihatnya (Nusaibah) berperang melindungiku.”

Ada beberapa cerita kecil tentang Shafiyyah binti Abi Ubaid bersama suaminya Ibnu Umar. Cerita ini menunjukan kedudukan dan keutamaannya. Diantaranya dituturkan Imam adz-Dzahabi. Suatu ketika, Abdullah bin Ja’far memberikan 10 ribu dirham kepada Ibnu Umar sebagai pembayaran atas Nafi’ (Abu Abdullah al-Madani, bekas budak Abdullah bin Umar, adalah seorang yang tsiqah, ahli fiqh dan hadits. Ia wafat pada tahun 117 H). Ibnu Umar masuk menemui istrinya dan memberitahukan tentang transaksi yang terjadi. Sang istri berkata,”Apa yang engkau tunggu?”

Ibnu Umar menjawab,”Tidakkah ada yang lebih baik dari itu semua. Ia menjadi merdeka karena Allah.”

Umar meniatkan semua itu pada firman Allah dalam al-Qur’an,” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai…”(QS. Ali Imran : 92). Di samping itu, Ibnu Umar sangat menyukai Nafi’ dan tidak bersedia memberikannya pada orang lain.

Sebagai istri, Shafiyyah memberikan semua pengabdian yang terbaik kepada suaminya. Nafi’ menuturkan betapa baiknya pelayanan Shafiyyah kepada suaminya. “Suatu ketika Ibnu Umar jatuh sakit. Ia sangat ingin makan buah anggur di musim pertamanya. Shafiyyah memerintahkan utusan dengan memberikan uang satu dirham yang cukup untuk membeli satu tangkai. Seorang pengemis membuntuti utusan ini. Ketika ia sampai dirumah, pengemis itu pun berdiri di depan pintu, Ibnu Umar berkata,”berikan kepadanya!.”

Shafiyyah memberikan kepada utusan itu satu dirham lagi untuk membeli anggur. Pengemis itu kembali mengikutinya. Saat masuk kerumah, si pengemis itu berdiri di depan pintu untuk kedua kalinya. Ibnu Umar berkata lagi,”berikan itu padanya.” Maka, diberikanlah buah anggur yang sudah di beli untuknya itu.

Kejadian itu berulang untuk ketiga atau ke empat kalinya. Shafiyyah pun memberikan buah itu kepada pengemis seraya berkata,”Sungguh demi Allah, apabila engkau kembali lagi, maka kebaikan tidak aku dapatkan.”

Kemudian ia memberikan satu dirham lagi untuk di belikan buah anggur, Setelah itu, pengemis tidak membuntuti lagi kurir Shafiyyah, sehingga Ibnu Umar dapat memakan buah tersebut.

Para Shahabat Rasulullah Shallallahu Aalaihi Wa Sallam gemar menginfakkan harta mereka. Ibnu Umar salah satu dari generasi yang diridhai oleh Allah ini. Sebab, ia menahan keperluan dirinya untuk diberikan kepada orang-orang fakir miskin, sambil mengajarkan kepada istrinya Shafiyyah tentang sedekah, infak dan pengorbanan di jalan Allah.

Said bin Abi Hilal menceritakan bahwa ketika Abdullah bin Umar sampai di Juhfah (Tempat miqat untuk memulai ihram dalam ibadah haji atau umrah bagi penduduk Syam, Mesir dan wilayah Barat). Ia mengeluh sakit. Ia pun berkata,”Saya ingin makan ikan.” Rekan-rekannya pun mencarikan untuknya. Namun mereka tidak menemukannya kecuali seekor ikan besar. Shafiyyah binti Abi Ubaid lalu mengambilnya dan mengolahnya kemudian di suguhkan kepadanya. Lalu datanglah seorang miskin berdiri dihadapannya. Ibnu Umar pun berkata padanya,”Ambillah ikan ini!”

Shafiyyah berkata,”Mahasuci Allah. Sungguh engkau telah membuatku lelah. Padahal kita mempunyai perbekalan lain yang dapat kita berikan padanya.”

Ibnu Umar berkata,”Sesungguhnya Abdullah mencintainya.”

Shafiyyah berkata,”Kami dapat memberikannya satu dirham. Itu lebih bermanfaat baginya daripada ikan ini. Engkaudapat memuaskan keinginanmu.”

Ibnu Umar menjawab,”Keinginanku adalah apa yang aku inginkan.”

Melalui peristiwa ini, Ibnu Umar mengajarkan Shafiyyah bahwa memberi makan orang-orang miskin termasuk jenis keutamaan yang terbaik dan tertinggi. Ia juga mengajarkan bahwa pendidikan jiwa, mengharuskan adanya penghalang atau sesuatu yang sangat diiginkan. Hal ini lebih mendekati ketakwaan dan kesempurnaan kebaikan di sisi Allah SWT.

Ibnu Umar tidak memakan suatu makanan, kecuali terdapat jatah untuk anak yatim atau orang miskin. Hal itu melemahkan badannya. Sampai-sampai Shafiyyah pernah ditegur karena hal itu,” Apakah engkau tidak berbuat baik kepada syaikh ini?”

Shafiyyah menjawab,” Lalu apa yang harus saya perbuat? Kami tidak membuat makanan untuknya kecuali ia mengajak orang lain untuk memakannya.”
Shafiyyah mengirimkan makanan pada sekelompok orang-orang miskin yang sering duduk di jalannya ketika hendak keluar menuju masjid, seraya berkata,”janganlah kalian duduk lagi di jalannya.”

Ibnu Umar pulang kerumah dan berkata,” Kirimkanlah makanan ini kepada si fulan dan si fulan.” Padahal istrinya telah mengirimkan makanan kepada mereka. Shafiyyah berkata,” Apabilah ia mengajak kalian untuk makan bersama, maka janganlah kalian mendatanginya.

Ibnu Umar berkata,”Kalian menginginkanku untuk tidak makan malam di malam ini.” Maka pada itu Ia memang tak mau makan malam saat itu.

Abu Nuaim meriwayatkan dalam al-Hilyah bahwa Hamzah bin Abdullah bin Umar berkata,”Seandainya ada makanan yang banyak pada Abdullah bin Umar. Ia tidak kenyang dengannya kecuali setelah ia menemukan teman makan.

Suatu ketika Ibnu Muthi’ menjenguknya. Ia melihat tubuhnya semakin kurus. Ia berkata kepada Shafiyyah,”Tidakkah engkau bersikap lembut kepadanya?Semoga tubuhnya pulih jika engkau membuat makanan untuknya.”

Shafiyyah menjawab,”Sesungguhnya kami selalu melakukannya. Tapi ia selalu mengajak temannya dan siapapun yang datang kepadanya untuk makan bersama. Coba bicarakan hal itu dengannya!”

Ibnu Muthi’ berkata,”Wahai Abu Abdullah!seandainya engkau bersedia mengambil makanan untukmu maka tubuhmu akan pulih kembali.”

Ia menjawab,”Saya sekarang berumur 80 tahun. Saya belum pernah kenyang. Lalu sekarang engkau ingin aku kenyang saat tidak tersisa lagi umurku kecuali sehaus keledai (kiasan untuk “usia sedikit” sebab, keledai termasuk binatang yang paling kurang tahan dengan haus. Bangsa Arab menggunakannya untuk ungkapan pembicaraan).

Banyak literatur menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar adalah shahabat terakhir yang wafat di Makkah pada 73 H. Tentang tahun wafatnya Shafiyyah binti Abi Ubaid istrinya, tidak ada riwayat pasti. Namun, indikasi menunjukan bahwa ia wafat setelah suaminya beberapa waktu kemudian. Ini didasarkan pada bukti yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa dari Nafi’,” Shafiyyah binti Abi Ubaid mengeluhkan sakit di matanya dan ia melakukan ihdad (Kondisi dimana wanita tidak berdandan dan berhias setelah kematian suaminya selama masa iddahnya) setelah kematian suaminya Abdullah bin Umar bin Khaththab. Ia tidak mengenakan celak mata, hingga kedua matanya sakit.”

Cerita ini menunjukan bahwa ia hidup hingga tahun 73 H yakni setelah meninggalnya suaminya beberapa waktu. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ibnu Sa’ad dari Fulaih bin Nafi’ senada dengan cerita diatas,”Shafiyyah sangat tua. Ia berkeliling antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya.”

Semoga Allah Merahmatinya.

Sumber:
Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’ad, IV/142, VIII/415,472
Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, III/220,238
Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajal al-Asqalani, II/296, X/360-362, XII/430
Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, VIII/292
Al-Hilyah, Abu Nuaim, I/297-298
101 Kisah Tabi’in, Hepi Andi B

Kisah Nabi Yang Takjub Kepada Kaumnya

Inilah kisah seorang Nabiyullah yang diberi umat yang banyak jumlahnya. Dari umatnya itu dia membentuk pasukan yang besar, banyak jumlahnya, dan tangguh. Apa yang dicapai oleh umatnya sangatlah menakjubkannya, begitu pula kekuatannya. Dia berkata, "Siapa yang bisa melawan dan menghadang mereka?"Maka Allah membinasakan tujuh puluh ribu dari kaumnya akibat ujub yang ada padanya.

NASH HADIS

Imam Ahmad meriwayatkan dari Suhaib berkata, "Ketika Rasulullah shalat, beliau membisikkan sesuatu yang tidak aku mengerti dan tidak menjelaskan kepada kami. Beliau bertanya,'Apakah kalian memperhatikanku?' Kami menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku teringat salah seorang Nabi
yang memiliki pasukan dari kaumnya – dalam riwayat lain, 'membanggakan umatnya' – Dia berkata, 'Siapa yang menandingi mereka? Atau siapa yang bisa melawan mereka? Atau ucapan seperti itu.'

Maka diwahyukan kepadanya, "Pilihlah satu dari tiga perkara untuk kaummu: Kami menguasakan musuh dari selain mereka atas mereka, atau kelaparan, atau kematian." Maka Nabi itu bermusyawarah dengan kaumnya dan mereka berkata, "Engkau adalah Nabiyullah, engkau yang memutuskan. Pilihlah untuk kami." Lalu dia mendirikan shalat setiap kali mereka sedang menghadapi urusan penting, mereka mengatasinya melalui shalat. Maka dia shalat sesuai dengan kehendak Allah.

Nabi melanjutkan, "Kemudian dia berkata, 'Ya Rabbi, adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Adapun kelaparan, maka jangan. Akan tetapi aku memilih kematian.' Lalu kematian dikirim kepada mereka, dan yang mati di kalangan mereka sebanyak tujuh puluh ribu. Nabi bersabda, "Bisikanku yang kalian perhatikan itu adalah aku berkata, 'Ya Allah, dengan-Mu aku berperang, dengan-Mu aku melawan dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah."

TAKHRIJ HADIS

Syaikh Albani dalam Silsilah Al-Ahadis As-Shahihah, 5/588, no. 2455. Dia berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad (6/16), Abdur Rahman bin Mahdi menyampaikan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah menyampaikan kepada kami dari Tsabit bin Abdur Rahman bin Abi Laila dari Suhaib berkata…Aku berkata, "Sanad ini shahih di atas syarat Syaikhain, didukung oleh riwayat Ma'mar dari Tsabit Al-Bunani yang sejenis tanpa doa, yang di akhir hadis dan riwayat lain dan tambahannya adalah tambahannya."Dia menambahkan, "Dan jika dia menyampaikan hadis ini, dia pun menyampaikan hadis yang lain bahwa ada seorang raja dan raja itu memiliki seorang dukun…" Hadis selengkapnya.

Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2/236-237). Diriwayatkan oleh Muslim (8/229-231) dan Ahmad dalam riwayatnya (1/16-17) dari jalan Hammad bin Salamah: Tsabit menyampaikan kepada kami tanpa hadis yang pertama, dan Tirmidzi berkata, "Hadis hasan gharib."

Aku berkata, "Dan sanadnya di atas syarat Syaikhain juga."

Hadis ini disebutkan pula oleh Syaikh Nashir (Albani) dalam As-Shahihah (3/50), no. 1061. Dia berkata tentang takhrij-nya, "Diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dalam Ash-Shalah (2/35). Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami, Abu Usamah memberitakan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah menyampaikan kepada kami dari Tsabit Al-Bunani dari Abdur Rahman bin Abu Laila dari Suhaib, lalu dia menyebutkan hadisnya.

Aku berkata, "Ini adalah sanad shahih di atas syarat Syaikhain."
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/333, 6/16) dari dua jalan yang lain dari Sulaiman bin Al-Mughirah dan dari jalan Hammad bin Salamah. Tsabit menyampaikan kepada kami hadis senada dengannya, dan di dalamnya terdapat tambahan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh, dan berbisik itu terjadi sesudah shalat pada hari-hari perang Hunain. Dan Darimi meriwayatkan darinya (2/217) ucapannya, "Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan-Mu aku berperang."

Dan sanad keduanya shahih di atas syarat Muslim.

PENJELASAN HADIS

Rasulullah memberitakan kepada kita di dalam hadis ini kisah tentang seorang Nabiyullah dengan umat yang besar jumlahnya dan tangguh. Dia melihat pemberian Allah ini dan takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam dirinya muncul kekaguman bahwa tidak ada yang mampu menghadapi umatnya, tidak ada yang bisa
mengalahkannya.

Semestinya orang yang menduduki kursi kenabian tidak boleh bersikap demikian, karena ujub dengan diri sendiri atau dengan anak atau harta atau umat adalah penyakit yang buruk. Seorang mukmin dalam menghadang musuhnya tidak tertipu oleh bala tentaranya yang banyak, tidak kecut dengan bala tentaranya yang sedikit, karena kemenangan hanya dari Allah semata. "Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah." (QS. Ali Imran: 126). "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 249)

Kadangkala membanggakan jumlah yang besar justru menjadi penyebab kekalahan. "Dan(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu pada waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai."(QS. At-Taubah: 25)

Nabi ini dihukum pada kaumnya. Allah meminta kepadanya untuk memilih bagi umatnya satu dari tiga perkara. Dikuasakannya musuh dari selain mereka atas mereka atau kelaparan atau kematian.

Aku bertanya pada diriku sendiri, rahasia apakah gerangan sehingga Nabi itu disuruh memilih satu dari tiga perkara. Maka aku mendapati bahwa satu dari tiga hal itu bisa melemahkan, bahkan melenyapkan kekuatan sebuah umat. Ia menghilangkan ujub yang ada di hati Nabi itu dan umatnya. Jika Allah menguasakan musuh dari selain mereka atas mereka, maka musuh itu akan menghinakan dan merenggut kehormatan mereka. Jika kelaparan yang menimpa, maka kekuatan mereka lenyap dan mudah untuk dikalahkan. Jika mati, maka jumlah mereka berkurang.

Memilih satu dari tiga perkara adalah perkara yang membingungkan dan perlu pertimbangan yang matang. Nabi ini telah berunding dengan umatnya dan mereka menyerahkan perkara itu kepadanya, karena dia adalah Nabiyullah. Para Nabi diberi petunjuk dan langkahnya adalah lurus.

Pilihan Nabi ini cukup tepat. Dia memilih kematian, bukan kelaparan atau kekuasaan musuh atas mereka. Jika seseorang yang hanya menimbang dengan tolak ukur dunia, niscaya dia memilih lain dari apa yang dipilih oleh Nabi itu.

Mungkin sebagian orang yang berpikiran dangkal berpendapat bahwa pilihan tepat adalah dikuasakannya musuh atas mereka, karena mereka akan tetap hidup walaupun musuh bisa saja membunuh sebagian dari mereka. Akan tetapi, Nabi ini tidak rela jika kaumnya dihina dan diinjak-injak. Dan pembunuhan tidak bisa
terelakkan jika musuh mereka menguasai mereka.

Kelaparan adalah perkara berat. Bisa jadi kelaparan menjadi penyebab kalahnya mereka dari musuh mereka, bahkan mungkin banyak yang mati karenanya.

Memilih kematian adalah memilih sesuatu yang pasti datang. Siapa yang hari ini tidak mati, maka dia akan mati besok atau lusa, tidak ada tempat berlari dan berlindung darinya.

Nabi ini memilih kematian buat umatnya. Orang-orang yang kembali kepada Tuhan mereka diharapkan bisa diterima di sisi-Nya, dan orang-orang yang hidup sesudah mereka diharapkan bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada mereka. Bisa jadi setelah mereka mati, Allah memberi ganti dalam jumlah yang banyak jika Dia berkehendak. Segala perkara berada di tangan
Allah.

Nabi ini shalat. Begitulah para Nabi dan orang-orang shalih ketika menghadapi perkara besar, mereka berdiri shalat. Maka dia shalat sesuai yang dikehendaki oleh Allah untuk shalat. Lalu Allah memberinya taufik untuk memilih perkara yang paling ringan. Dia berkata kepada Tuhannya, "Adapun musuh dari selain mereka, maka jangan. Kelaparan juga jangan, akan tetapi kematian."

Kematian menyebar di kalangan mereka seperti api yang menyebar di hamparan rumput kering. Satu per satu wafat. Kematian menjemput dan membinasakan generasi yang tumbuh. Dalam satu hari ada tujuh puluh ribu yang wafat.

Akibat dari ujub yang ada pada Nabi ini kepada kaumnya sangatlah mengerikan. Rasulullah khawatir akibat seperti ini bisa menimpa para sahabatnya. Maka beliau berbisik setelah shalat, "Ya Allah, dengan-Mu aku berusaha, dengan-Mu aku melawan, dan dengan-Mu aku berperang." Dan beliau mengingat kisah Nabi ini, maka beliau berdoa dengan doa seperti di atas kepada Allah, mengumumkan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan serta hanya bergantung kepada kekuatan dan daya para sahabatnya. Dalam menghadapi musuh Nabi berpegang kepada Allah semata, tanpa selain-Nya. Hanya dari-Nya pertolongan dan kemenangan, dan tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan-Nya.

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
  1. Rasulullah memberi pengertian kepada sahabat-sahabatnya tentang sebab-sebab kelemahan dan kebinasaan. Di antaranya adalah ujub terhadap diri.
  2. Akibat ujub sangatlah mengerikan, sebagaimana yang terjadi pada umat Nabi tersebut. Hal itu karena ujub melemahkan tawakkal dan berpijak kepada Allah, serta menjadikan seseorang hanya bergantung kepada sebab-sebab materi.
  3. Hendaknya para pemimpin, para panglima dan para pengendali urusan harus waspada. Jangan sampai Allah menurunkan apa yang telah Allah timpakan kepada kaum Nabi ini. Pada zaman ini kita sering melihat dan mendengar banyaknya kekaguman para pemimpin dan panglima terhadap tentara dan pengikut mereka.
  4. Bisa jadi sebab turunnya ujian adalah sesuatu yang samar, hanya diketahui oleh orang yang mengerti agama Allah. Musibah seperti ini bisa menimpa kaumshalih yang berjihad, sementara mereka tidak mengetahui darimana sebabnya.
  5. Adanya umat yang baik dalam jumlah besar sebelum kita. Pada kalangan mereka terdapat orang-orang yang berperang dan berjihad di jalan Allah. Dalam rentang waktu yang pendek, jumlah orang yang mati mencapai tujuh puluh ribu orang.
  6. Seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakan shalat jika menghadapi suatu perkara besar. Semoga Allah membimbingnya kepada pilihan yang paling lurus. Termasuk hal ini adalah Istikharah yang disyariatkan oleh Allah setelah dua rakaat.
  7. Dalam perkara yang mengharuskan memilih, seorang muslim hendaknya tidak tergesa-gesa. Dia harus bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi ini. Dia harus memikirkan dengan matang, menimbang antara pilihan-pilihan yang ada. Dia harus berdoa kepada Allah agar memberinya taufik sehingga bisa memilih dengan benar.
Sumber: KISAH-KISAH SHAHIH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Karya Syaikh ‘Umar Sulaiman al-‘Asyqor

Monday, May 23, 2011

Kisah Al-A’masy Sulaiman bin Mihran Rah.a (Tabi'in)

Banyak Ilmu dan Ibadah

“Dia orang paling pandai tentang Islam.”.....(Yahya al-Qaththan)

Ia adalah seorang imam, ahli membaca al-Qur’an, rawi hadits dan mufti. Ia banyak melakukan amal, sedikit berkhayal, ahli ibadah terhadap Tuhannya dan dekat dengan makhluknya. Dialah Sulaiman bin Mihran, Imam ahli Qur’an dan hadits. Sufyan bin Unaiyah berkata,”Al-A’masy adalah orang yang paling pandai membaca al-Qur’an, paling banyak menghapal hadits dan paling mengetahui tentang faraidh.”

Ia hidup bersama orang-orang shalih, terdidik dalam asuhan orang-orang terpilih. Dan mereka, ia memetik buah ilmu sehingga menjadi menara dari cahaya pengetahuan Islam. Namanya pun dipahat sejarah dengan ukiran emas.

Dia termasuk orang yang paham Islam dan Allah pun menjaganya. Ibnu al-Madini memberikan kesaksian dalam ungkapannya,”Orang yang menjaga ilmu diantara umat Muhammad SAW ada enam. Untuk penduduk Makkah terdapat Amr bin Dinar, untuk penduduk Madinah ada Muhammad bin Muslim az-Zuhri, untuk penduduk Kufah ada Abu Ishaq as-Sabi’y dan Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, dan untuk penduduk Bashrah ada Yahya bin Abi Katsir dan Qatadah.”

Al-A’masy merupakan imam dan penjaga syariah yang diakui oleh para ulama. Qasim bin Abdurrahman memberikan kesaksian,”Syaikh ini (maksudnya: Al-A’masy) paling mengetahui tentang ucapan Abdullah bin Mas’ud.”

Simak juga ungkapan Hasyim,”Aku tidak mendapatkan orang yang paling pandai membaca al-Qur’an dan paling baik tentang hadits melebihi Al-A’masy.”

Yahya al-Qaththan menambahkan,” Dia orang paling pandai tentang Islam.”

Dengan kedudukannya ini, para ulama banyak yang berlomba untuk mendekat bahkan memberikan pelayanan. Ketika dia membawa sesuatu, orang-orang pun berlomba ingin membawakannya.

Berkenaan dengan ibadah shalatnya, Waki’ bin al-Jarrah menggambarkan, “Hampir 70 tahun Al-A’masy tidak pernah luput ikut takbirah al-ihram (dalam shalat berjama’ah). Dan aku menyertainya hampir dua tahun, dia tidak pernah luput meski satu rakaat.

Ibnu Daud al-Khuraiji berkata,”Ketika Al-A’masy meninggal dihari wafatnya, tak ada seorangpun pengganti yang lebih baik ibadah darinya.

Al-A’masy juga dikenal selalu menjaga kesucian tubuhnya. Suatu ketika, ia terbangun tengah malam. Ia buru-buru mencari air, tapi tidak menemukan. Ia pun meraba-raba dinding untuk mencari debu dan bertayamum. Lalu, ia pun tidur lagi. Ketika orang-orang menanyakan hal itu, ia pun menjawab,”Aku khawatir meninggal dalam keadaan tidak berwudhu.”

Begitulah keadaan Al-A’masy, sehingga derajatnya meningkat setinggi bintang kejora. Orang-orang menghormatinya layaknya seorang amir. Diantara mereka, ada yang mengatakan,”Kami tidak melihat orang kaya dan penguasa di majelis yang lebih hina dari mereka di tempat Al-A’masy.” Maksudnya, meskipun mereka orang-orang kaya dan penguasa, tapi mereka tidak lebih mulia dari Al-A’masy. Padahal, Al-A’masy bukanlah seorang penguasa atau orang kaya.

Suatu ketika ia diminta oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik untuk menuliskan keutamaan Utsman bin Affan dan keburukan Ali bin Abi Thalib. Ketika utusan datang menemuinya, al-A’masy memasukan ke dalam mulut kambing seraya berkata,”Ini jawabannya.”

Namun utusan itu ngotot tak mau kembali. “Kalau saya kembali tidak membawa jawaban, saya akan dibunuh,”ujar utusan itu memelas.

Al-A’masy akhirnya menulis,”Bismillahirrahmanirrahim. Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi penduduk bumi, itu tak akan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri. Wassalam.

Begitulah pendapat seorang imam yang betul-betul tahu bagaimana mengondisikan para shahabat Nabi. Dengan resiko apapun, dia tidak mau menjelek-jelekan mereka atau mengangkat melebihi apa yang seharusnya mereka miliki. Kendati ia tahu apa yang diinginkan sang Khalifah. Sangat boleh jadi, ketika menulis keutamaan Utsman, ia akan mendapatkan penghargaan dari sang Khalifah. Tapi, itu tidak ia lakukan

Ketika muncul fitnah atas Zaid bin Ali, orang-orang berkata,”lebih baik engkau pergi!”

“Demi Allah. Aku tidak mengetahui ada orang yang kujadikan kehormatanku di bawahnya. Bagaimana mungkin aku menjadikan agamaku dibawahnya.”

Pada kesempatan lain, seorang amir bernama Isa bin Musa mengirimkan lembaran kepada al-A’masy untuk memintanya menulis hadits. Ia juga mengirimkan uang seribu dirham.

Ketika menerima lembaran itu, al-A’masy mengambil uang dan menulis, Bismillahir Rahmanir Rahim Qul huwallahu ahad hingga akhir surah.” Ia melipatnya dan mengirimkannya kembali kepada Ali bin Musa.

Ketika membaca tulisan itu, Ali tercengang kaget dan menulis untuk al-A’masy,”Apakah engkau mengira aku tidak mengerti makna ayat al-Qur’an?”

Dalam lembaran balasannya, al-A’masy menjawab,”Apakah engkau mengira aku mau menjual hadits Nabi?” Ia pun tidak menulis apa-apa dan tetap menahan uang yang diberikan padanya dan tidak mengembalikannya.

Suatu ketika al-A’masy dan Ibrahim an-Nakha’i berjalan bersama. Ibrahim ingin mereka melewati jalan yang ramai. Namun al-A’masy menolak.”Kalau orang-orang melihat kita, mereka akan mengatakan,”Ada A’war dan A’masy!” ujar al-A’masy

Tidak apa-apa. Bukankah dengan demikian, kita dapat pahala dan mereka berdosa,”jawab Ibrahim.

“Lalu apa pedulimu kalau kita selamat dan mereka selamat.”

Pada kesempatan lain, ia ikut berjamaah dimasjid Bani Asad. Pada rakaat pertama, imam membaca surah al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua, imam membaca surah Ali Imran. Setelah shalat usai, al-A’masy menghampiri sang imam dan berkata, ”Sebaiknya engkau bertakwa kepada Allah. Apakah engkau tidak pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang mengimami orang-orang maka sederhanakanlah. Diantara mereka ada orang-orang tua, lemah dan punya keperluan.”

Sang imam menjawab dengan membacakan firman Allah,” Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”(QS. Al-Baqarah: 45).

“Aku adalah utusan orang-orang yang khusyuk. Dan bacaanmu berat,”jawab al-A’masy.

Demikianlah perjalanan hidup seorang imam dan ahli hadits. Ketika ia sakit menjelang ajal, ia seperti mengetahui kalau takdir Allah sudah dekat. Saat mau dipanggilkan dokter, ia menolak. Ia meninggalkan dunia ini dengan mewariskan ilmu bagi orang-orang setelahnya.

Ia wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 184 Hijriyah pada usia sekitar 88 tahun. Ketika ia telah wafat, Hisyam ar-Razi pernah melihatnya dalam mimpi. “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam.

“Kami selamat dengan ampunan Allah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,”jawab al-A’masy.

Sumber:
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, karya Azhari Ahmad Mahmud
Siyar A’lam at-Tabi’in, karya Shabri bin Salamah Syahim
101 Kisah Tabi’in

Friday, May 20, 2011

Kisah Uwais bin Amir al-Qarni Rah.a (Tabi'in)


Seorang Zuhud yang Syahid

“Mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!”......(Umar bin al-Khaththab)

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam sedang duduk diantara para sahabatnya; antara lain Abu Hurairah, Umar, Ali dan lainnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik generasi tabi’in adalah orang yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan mempunyai belang putih ditubuhnya. Lalu dia berdoa hingga Allah menghilangkan belang itu kecuali hanya tersisa sebentuk dirham.”(HR. Muslim dalam shahihnya No. 2542, Imam Ahmad dalam Musnadnya, I/38)

Beliau adalah Uwais al-Qarni adalah teladan bagi orang yang zuhud. Ia adalah salah seorang dari delapan orang zuhud yang menghindarkan diri dari dunia, sehingga Allah menjaga mereka dan memberikan kasih sayang dan keridhaanNya. Uwais al-Qarni adalah tokoh dari generasi tabi’in dizamannya. Demikian dituturkan Imam adz-Dzahabi. Ia juga dikenal sebagai junjungan dari orang-orang yang dikatakan oleh Allah dalam firmanNya:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. “(QS. At-Taubah:100)

Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi al-Yamani. Qarn adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad. Beliau juga termasuk satu dari wali Allah yang bertakwa.

Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam ke Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam pernah membicarakan tentang dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang sangat ia hormati.

Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam melanjutkan penjelasannya tentang sifat Uwais al-Qarni. Beliau bersabda,”Wahai Abu Hurairah!Sesungguhnya Allah mencintai dari makhluk-makhlukNya yang bersih hatinya, tersembunyi, yang baik-baik, rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, yang kosong perutnya kecuali dari hasil pekerjaan yang halal, prang-orang yang apabila meminta izin kepada para penguasa maka tidak diizinkan, jika melamar wanita-wanita yang menawan maka mereka tidak mau menikah. Jika tidak, ada mereka tidak dicari. Ketika hadir, mereka tidak diundang. Jika muncul, kemunculannya tidak disikapi dengan kegembiraan. Apabila sakit, mereka tidak dijenguk. Dan jika mati, tidak dihadiri prosesi pemakamannya.”

Para sahabat bertanya,”Bagaimana kita dapat menjadi bagian dari mereka?”

Rasul menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”

Para sahabat bertanya,”apa ciri-ciri orang yang bernama Uwais al-Qarni?”

Rasul menjawab,”Seorang yang warna bola matanya bercampur, mempunyai warna kekuning-kuningan, berbahu lebar, berbadan tegap, warna kulitnya terang, dagunya sejajar dengan dadanya, menundukan dagunya ketempat sujudnya, meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, membaca al-Qur’an lalu menangis, mengenakan sarung dari wol, pakaian atasnya dari wol, tidak dikenal penghuni bumi, terkenal dikalangan penghuni langit, apabila bersumpah atas nama Allah maka ia pasti memenuhi sumpahnya. Sungguh dibawah bahu kirinya ada cahaya berwarna putih. Sungguh, ketika hari kiamat diperintahkan kepada para hamba,”Masuklah kalian ke dalam surga.” Dan dikatakan kepada Uwais,”Berhentilah!Berilah syafaat!’lalu Allah memberikan hak syafaat kepadanya untuk menolong sejumlah orang dari suku Rabi’ah dan Mudhar (dua kabilah bangsa Arab). Wahai Umar, wahai Ali! Apabila kalian berdua bertemu dengannya maka mintalah kepadanya agar kiranya ia memintakan ampunan untuk kalian, maka Allah akan mengampuni kalian berdua.”

Ini adalah awal dari sejarah perjalanan hidup Uwais. Bagaimana gerangan dengan kabar gembira yang diberikan Allah kepadanya.

Belasan tahun pun berlalu...

Jika didatangi delegasi dari penduduk Yaman, Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada mereka,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?”Dalam memorinya, ia selalu teringat cerita Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam tentang sosol Uwais. Karena itu, Umar secara khusus menanyakan nama dan sosok pribadinya. Marilah kita simak cerita Umar.

Suatu hari, datang rombongan dari Yaman. Seperti biasa Umar berdiri dan selalu menanyakan,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?Mereka menjawab,”Ya”

Lalu Umar berjalan menghampiri Uwais dan bertanya,”Engkau Uwais bin Amir?”
Orang itu menjawab,”Ya”
Umar berkata,”Drai suku Murad dan Qarn?”
Dia menjawab,”Ya”

Umar bertanya,”Apakah engkau dahulu mempunyai penyakit belang (kusta), lalu Allah menyembuhkanmu dari penyakit itu kecuali sebentuk dirham yang tersisa?”
Uwais menjawab,”Ya”
Umar bertanya lagi,”Apakah engkau mempunyai seorang ibu?”
Dia menjawab,”Ya”

Umar bin Khaththab mengatakan,”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin Amir, dari penduduk Yaman, dari Murad dan Qarn. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta lalu sembuh, kecuali sebentuk dirham yang masih tersisa. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sangat menghormatinya. Seandainya ia bersumpah, ia pasti akan memenuhinya. Jika engkau bisa, kiranya dia memintakan ampunan untukmu, maka lakukanlah.’Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!

Lalu Uwais memintakan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Kemudian Umar berkata kepadanya,”Kemanakah engkau hendak pergi?”
Uwais menjawab,”Saya ingin pergi ke Kuffah.”

Umar mengatakan,”Tidakkah sebaiknya aku menulis surat untukmu bawa kepada penguasanya?”

Uwais menjawab,”Saya berada ditengah-tengah kebanyakan orang, itu lebih saya cintai.”

Maksudnya, ia lebih menyukai tinggal bersama-sama dengan rakyat biasa, dan bukan tokoh-tokoh masyarakat. Ia menghindarkan diri dari dunia dan tidak menginginkan sesuatu apapun dari pemilik harta dan kekuasaan.

Umar bertanya lagi kepada Uwais,”Siapa yang engkau tinggalkan di Yaman?”
Ia menjawab,”Saya meninggalkan Ibuku.”
Kemudian Umar meminta dengan sangat sekali lagi kepada Uwais agar sudi memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Umar berkata,”Mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!”

Uwais balik bertanya,”Apakah orang sepertiku memintakan ampunan untuk orang sepertimu, wahai Amiruk Mukminin?”

Umar mengulang-ngulang Permintaannya. Uwais pun memintakan ampunan untuknya dan mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah Umar bin Khaththab.”

Umar berkata kepada Uwais,”sejak hari ini, engkau adalah saudaraku dan janganlah engkau berpisah dariku!”

Sejak saat itu, Uwais berusaha lepas dari jaminan kehidupan dari Umar. Ia bermaksud menuju Kuffah untuk mencari rezeki, mendekatkan diri dengan para ulama dan orang-orang yang zuhud di bumi Irak. Di sana ia menemui berbagai kesulitan yang tidak tergambarkan. Karena sikap zuhudnya dari dunia, di Kuffah ada orang yang mencaci makinya hingga menyakiti hatinya dan mengejeknya dengan ejekan yang menjadikannnya tidak sanggup bertemu orang lain.

Tapi Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya ini dimanapun ia berada. Dia menjadikan orang membelanya dari gangguan. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat, sebagaimana Dia sepanjang waktu Maha mengetahui keadaan hamba-hambaNya yang shalih.

Saat lepas dari Umar bin Khaththab dan pergi menuju ke Kuffah, Umar berkata,”Semoga Allah memberikan kasih sayang kepadamu. Tempatmu disini hingga saya masuk ke Makkah dan membawakan untukmu nafkah dari pemberianku dan keutamaan pakaian dari pakaianku,” Kemudian Umar meyakinkannya dengan mengatakan,”Tunggulah disini wahai Uwais!Ini adalah tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu.”

Uwais menjawab,”Wahai Amirul Mukminin!Tak ada tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu. Saya tak melihatmu setelah hari ini engkau akan mengetahuiku. Wahai Amirul Mukminin! Apa gerangan yang saya lakukan dengan nafkah itu?Apa gerangan yang saya perbuat dengan pakaian itu?Tidakkah engkau lihat saya mengenakan sarung wol, pakaian atasan dari wol. Kapankah engkau melihatku merobek-robeknya. Tidakkah engkau melihat kedua terompahku yang dekil?kapankah saya merusaknya?Tidakkah engkau melihatku telah mengambil upah hasil gembala kambing sebanyak 4 dirham?Kapan engkau melihatku membelanjakannya?

Wahai Amirul Mukminin!Sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu ada pintu sempit yang sulit dimasuki kecuali rasa yang ringan dan lemah. Maka ringankanlah. Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”

Demikianlah gambaran sikap zuhudnya. Mendengar penuturan Uwais, Umar bin Khaththab melemparkan apa yang ada ditangannya ke tanah, seraya berteriak,”Andaikan ibu Umar tidak melahirkan Umar. Andaikan dia mandul dan tidak merawat kandungannya. Ingatlah olehmu, siapa yang mengambil dunia dengan isinya?”

Uwais menenangkan kegundahan Umar dan mengatakan,”Wahai Amirul Mukminin!Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”

Umar berangkat menuju Makkah mengantar kepergian Uwais. Uwais pun menggiring untanya, lalu memberikan kepada pemiliknya dan meninggalkan tempat penggembalaan. Ia berjalan menuju penyembahan kepada Allah sepanjang hidupnya.

Di Kuffah, majelisnya adalah majelis orang-orang yang zuhud. Ia menjadi pemimpin dan guru orang-orang zuhud. Dalam keyakinannya, akhirat adalah negeri yang mantap dan negeri kebenaran.

Jika kita hendak melihat Uwais di Kuffah lebih dekat, berikut penuturan salah seorang temannya dari delapan orang zuhud. Harim bin Hayyan, memberikan gambaran tentang pribadinya kepada kita.

“Saya datang ke kuffah. Tak ada tujuan bagiku kecuali menanyakan tentang Uwais. Lalu saya ditunjukkan ke arah sungai Eufrat yang ia gunakan untuk berwudhu dan mencuci pakaiannya. Saya mengucapkan salam kepadanya dan menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan. Namun ia menolak. Pelajaran berharga itu memenuhi relung hatiku saat melihat kondisinya.”

Harim tak mengenalnya sebelum menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengannya.”Saya mengenalinya dengan sifat tanda (yang dimaksudkan adalah belang kulit dengan warna kekuning-kuningan). Ternyata ia adalah orang yang warna kulitnya sangat putih (pucat) dengan rambut kepala yang plontos dan jenggot sangat tebal, sehingga menjadi penampilan yang menakutkan.”

Ketika ia menolak uluran jabat tangan, Harim kembali berkata, “Salam untukmu wahai Uwais. Bagaimana kondisimu sekarang, wahai saudaraku?”

Uwais menjawab,”Dan engkau, semoga Allah memberimu kegembiraan, wahai Harim bin Hayyan. Siapa yang menunjukannmu kepadaku?”

Harim menjawab,”Allah jualah yang menunjukanku kepadamu.”

Uwais menyitir salah satu ayat:

“Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".(QS. al-Isra:108)

Harim berkata,”Semoga Allah merahmatimu. Dari mana engkau mengenal namaku dan nama ayahku?Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihatmu sebelum hari ini. Dan engkau juga tidak pernah melihatku”.

Uwais menjawab,”Ruhku mengenal ruhmu saat saya membisikkan kepada dirikku. Sebab sesungguhnya ruh-ruh itu memiliki jiwa, seperti jiwa pada raga. Bahwa orang-orang yang beriman saling mengenal satu dengan lainnya dengan pertolongan ruh dari Allah. Meskipun berjauhan rumah dan tempat yang terpisah.”

Saat itu juga Harim duduk disamping temannya itu dan berharap dapat mendengar pelajaran darinya. Sebab sebelumnya dia telah mendengar tentang dirinya dan kezuhudannya. Suasana diam itu berlangsung lama hingga Harim memulai pembicaraan,”Ceritakanlah padaku wahai saudaraku tentang hadits dari Rasulullah agar saya menghapalnya darimu.”

Ia menjawab,”Saya tidak mengalami hidup dimasa Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam. Saya tidak pernah menjadi sahabat beliau. Saya banyak bertemu dengan orang-orang yang melihatnya. Haditsnya telah sampai kepadaku seperti juga telah sampai kepada kalian. Sedang saya tidak suka membuka pembahasan ini pada diriku. Saya tidak ingin menjadi hakim atau mufti. Dalam diriku ada kesibukan dan menyibukan diri. Tak ada waktu luang untuk berbicara. Saya hanya beramal untuk kehidupan akhiratku.”

Harim mengatakan,” Kalau begitu, kami akan mendengar ayat-ayat kitab Allah dari bacaanmu. Berdoalah kepada Allah untukku dengan doa-doa. Dan berilah saya suatu wasiat.”

Saat itu, sungai eufrat mengering, semilir udara sungai berhembus diatas kepada kedua orang yang zuhud iru: Uwais dan Ibnu Hayyan. Lalu Uwais menggamit tengan temannya ini dan mengajak berjalan ditepian sungai Eufrat sambil berbincang-bincang . Ia mengatakan,” Tuhanku! Sejujur-jujurnya perkataan adalah perkataan Tuhanku. Sebenar-benar pembicaraan adalah dari Tuhanku. Tuhanku! Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk,” Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya, (QS.ad-Dukhan:40).

Kemudian Uwais menghela napas berat setelah membaca ayat ini. Temannya Harim bin Hayyan mengiranya sedang tak sadarkan diri. Lalu Uwais kembali membaca ayat: ”Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfa'at kepada karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. “(QS.ad-Dukhan:41-42).

Uwais memandang kearah Harim dan berkata,” Wahai Harim bin Hayyan! Ayahmu telah meninggal dan engkau hampir meninggal dunia. Antara dua pilihan tempat, surga atau neraka. Adam telah meninggal dan juga Hawa, Wahai Ibnu Hayyan. Ibrahim kekasih Allah telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Musa, nabi yang Allah selamatkan juga telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Muhammad Shallallahu Aalaihi wa Sallam telah meninggal. Abu Bakar, Khalifah kaum muslimin telah meninggal, dan saudaraku, temanku, kekasihku, Umar telah meninggal.” Kemudian ia memanggil nama Umar dengan keras,” Wahai Umar...wahai Umar...”

Harim menyela,”Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya Umar belum meninggal!”

Uwais menjawab,”Ya, benar. Sesungguhnya Tuhanku telah memberikan berita duka tentang kematiannya kepadaku. Saya mengetahui apa yang saya katakan. Saya dan engkau, besok akan menjadi bagian dari orang-orang yang sudah mati.”

Kemudian ia mendoakan Harim dengan doa yang pendek.”Ini adalah wasiatku kepadamu wahai Ibnu Hayyan. Adalah kitab Allah dan berita-berita duka tentang kematian orang-orang yang shalih dari golongan kaum muslimin. Saya beritahukan kepadamu tentang berita kematianku. Sebaiknya engkau selalu mengingat mati. Jika engkau mampu, agar ingatanmu itu tidak lepas dari hatimu sedetik saja, maka lakukanlah!Beritakan hal ini kepada kaummu setelah engkau kembali kepada mereka. Bersungguh-sungguh untuk dirimu. Jangan sekali-kali memisahkan dirimu dari jama’ah, karena engkau memisahkan agamamu sedang engkau tidak merasakannya, hingga engkau mati dan masuk ke dalam neraka di hari Kiamat kelak.

Kemudian ia menengadahkan muka ke langit dan berdoa,”Ya Allah, orang itu mengaku mencintaiku dalam mencari keridhaanMu. Dia mengunjungiku karenaMu. Pertemukanlah dia denganku sebagai pengunjung surga, negeri kedamaian. Relakanlah untuknya bagian yang sedikit dari dunia dan apa yang Engkau berikan kepadanya sesuatu dari dunia. Jadikanlah dia dalam kemudahan dan perlindungan. Jadikanlah amal perbuatan yang Engkau berikan itu menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur.”

Uwais menjabat tangan Harim, dan memeganginya seraya berkata,”Saya menitipkanmu kepada Allah, wahai Harim bin Hayyan. Selamat jalan!Jangan lagi mencariku dan bertanya tentangku. Saya akan selalu mengingatmu dan insyaAllah akan selalu mendoakanmu.”

Kemudian ia memberikan isyarat dengan tangannya,”Berangkatlah dari arah ini.”

Kemudian Harim pun pergi. Harim memintanya untuk berjalan bersamanya. Namun ia menolak dan berpisah dengannya seraya menangis, sementara Harim juga menangis.

Harim menceritakan:

Kemudian Uwais masuk ke suatu parit dan menghilang dari pandanganku. Berapa kali saya mencoba bertemu dengannya setelah hari itu, namun tidak menemukan seorang pun yang memberitahukan tentang keberadaannya. Saya kembali ke Bashrah, tempat saya pertama kali mencari Uwais. Di Kuffah ia menghabiskan hari-hari ibadahnya. Saya mengingatnya, hingga menemukan banyak kelembutan dan kejernihan dari pembicaraannya tentang zuhud dan orang-orang zuhud. Suatu sore, ia pernah mengatakan:”Ini adalah malam ruku.”Maka ia melakukan ruku (sholat) hingga Shubuh menyingsing.”

Suatu sore, ia juga berkata:”Ini adalah malam sujud.”Maka ia melakukan sujud hingga waktu Shubuh.”. Ia juga menyedekahkan apa saja yang ada dirumahnya, mulai dari makanan dan pakaian, lalu ia berucap,”Ya Allah!Siapapun yang mati kelaparan, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya. Siapapun yang mati dan tidak mempunyai pakaian, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya.”

Saat sedang duduk didepan masjid Kufah, ada seseorang dari kaum Murad lewat. Lalu ia menyapanya,”Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai saudara dari suku Murad?”

Orang itu menjawab,”Pagi ini, saya memuji Allah.”

Lalu orang itu balik bertanya,”Bagaimana masa melewati hidupmu?”

Uwais menjawab,”Bagaimana dengan masa bagi seorang yang ketika pagi ia mengira tidak ketemu sore. Dan ketika sore, ia mengira tidak bertemu pagi. Apakah ia akan dapatkan surga atau neraka?Wahai saudara dari Murad, sesungguhnya mati dan mengingatnya tidak menyisakan kegembiraan bagi seorang mukmin. Ilmu dan keyakinannya dengan hak-hak Allah sehingga tidak menyisakan hartanya, baik emas atau perak. Aktivitasnya pada kebenaran tidak meninggalkan teman baik untuknya.”

Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh ini:

Pertama, pengetahuan dan keyakinannya tentang hak-hak Allah. Ia tak menyisakan sesuatu dari hartanya, karena begitu kuatnya kecintaannya untuk menunaikan hak-hak itu dan perasaannya bahwa semua hartanya adalah milik Allah.

Kedua, kecenderungannya pada kebenaran dan perkataan yang benar. Ia tak menarik kekaguman dari banyak orang. Begitu kukuhnya ia, sehingga tak menyisakan seorang teman baginya. Semua temannya menjauh darinya.

Semoga Allah merahmati hamba yang zuhud ini. Ia telah mengutarakan tentang kedalaman Islam. Sementara kita sangat jauh dari sifat ini. Bukankah sikap zuhud mencakup sikap qan’ah (menerima apa adanya) berupa harta duniawi. Semua sifat itu tampak jelas keagungannya dalam pribadi Uwais.

Orang-orang yang hidup semasa dengannya banyak menuturkan potret zuhudnya di Kufah sepanjang hidupnya hingga menemui Tuhannya. Diantaranya adalah Usaid bin Jabir, salah seorang teman dekatnya.

“Dulu di Kufah ada seorang yang mengucapkan sesuatu yang tidak saya dengar dari siapapun mengatakannya. Lalu saya kehilangan dirinya dan tidak menjumpainya, hingga saya menanyakan tentang dirinya. Orang-orang menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”

Saya mencarinya dan mendatanginya, lalu berkata,”Apa yang membuatmu menghindari kami, wahai Uwais? Kami tak melihatmu duduk untuk berbicara dengan kami?”Lalu ia memandangi pakaiannya yang lusuh, sebelumnya banyak orang yang mengejeknya dan mengganggunya karena penampilannya yang buruk.

Usaid bin Jabir berkata,”Ambillah kain beludruku ini untukmu kenakan!” Ia menolak pemberian itu. Usaid terus membujuknya sampai ia mau menerimanya. Uwais pun berkata,”Sesungguhnya mereka akan terus menyakitiku ketika mereka melihat kain beludrumu ini dipundakku.”

Usaid pergi menemui orang-orang yang dimaksud dan mengatakan,”Apa yang kalian inginkan dari orang ini?Kalian telah menyakitinya. Bukankah orang ini suatu ketika tak berpakaian, tapi mengenakan pakaian pada kesempatan lain?”Usaid terus memarahi mereka dengan keras dan tegas.

Hari-hari berlalu. Orang-orang yang telah mengejek Uwais ini pergi menghadap Umar bin Khaththab di Madinah. Diantara pembicaraan Umar kepada mereka ini,”Apakah ditengah-tengah kalian ada seseorang dari suku al-qarn?”Mereka menjawab,”Ya, ia bernama Uwais.

Umar berkata,’’Sesungguhnya orang itu berasal dari Yaman, Namanya Uwais. Ia tak meninggalkan seseorang di Yaman kecuali Ibunya. Dulu ia terkena penyakit kusta .Lalu ia berdoa, hingga Allah menghilangkan penyakit itu kecuali masih tersisa sebesar uang dirham. Siapapun dari kalian yang bertemu dengannya, hendaknya kalian menyuruhnya untuk mendoakan kalian, saya telah mengetahui bahwa ia berada ditengah-tengah kalian di Kufah.

Umar menuturkan ciri-ciri ia kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata,”Itulah orangnya yang selalu kami ejek dan caci maki.”

Umar berkata, Uwais?”

Sorang dari Kufah itu menjawab,”Dialah Uwais, wahai Amirul Mukminin.”

Umar berkata,”Temukanlah ia!Temukanlah ia! Aku tidak melihatmu memahami apa aku katakan. Temukanlah Uwais!” Maka orang itu kembali ke Kufah, lalu menemui Uwais sebelum pulang kerumahnya. Uwais berkata kepadanya ketika ia melihatnya datang menemuinya,”Tunggu dulu. Ini tidak seperti kebiasaanmu. Apa yang terjadi denganmu?Saya mohon kepadamu, jangan engkau ulangi ejekanmu.”

Orang itu menjawab,”Saya bertemu Umar dan mengatakan demikian. Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai paman!”

Uwais menjawab,”Saya tidak memintakan ampunan untukmu hingga engkau menjadikan diriku sama denganmu untuk tidak mengejekkku lagi. Jangan sekali-kali engkau ceritakan perkataan Umar ini kepada siapapun.”

Orang itu meyakinkan,”Engkau dapatkan hakmu itu.”

Lalu ia memintakan ampunan untuknya dan pergi.

Namun pembicaraan yang dimaksud telah menyebar di seantero Kufah. Penduduknya pun berniat memuliakan dan mengagungkannya ketika mendengar cerita tersebut. Uwais menyingkir menuju ke tempat persembunyiannya demi menghindari kedudukan dan kekuasaan dunia.

Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah guru besar zuhud yang sebenarnya. Ia tak mempunyai pakaian, bukan karena sedikitnya bantuan kepadanya atau karena kebutuhannya. Tapi seperti yang diceritakan oleh orang-orang semasanya,”Uwais al-Qarni sering bersedekah dengan pakaiannya. Pernah suatu ketika, ia duduk tanpa pakaian kecuali sesuatu yang menutup auratnya. Ia dan juga tidak mendapati sesuatu yang pantas menuju sholat Jum’at.”

Semoga Allah merahmati Uwais. Ia adalah seorang yang tsiqah dan jujur. Hingga Umar bin Khathab sering memujinya. Inilah pujian Umar yang mengumandang di Mina di atas mimbar, “Wahai penduduk Qarn.”Tokoh-tokoh penduduk Qarn lalu berdiri. Umar bertanya,”Apakah Uwais sekarang berada ditengah kalian?

Salah seorang tokoh menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, itu adalah orang gila yang tinggal di gubuk. Ia tidak bisa lembut dan tidak dapat diperlakukan lembut.”

Umar berkata,”Itulah orang yang aku maksudkan. Jika kalian pulang, carilah dia!Sampaikan salamku dan salam Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam kepadanya.”

Ketika pesan Umar ini sampai pada Uwais, ia berkata,”Amirul Mukminin telah memperkenalkanku dan membuat namaku tersebar. Ya Allah, semoga engkau memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada Muhammad dan kepada keluarganya. Salam unutk Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam.”

Setelah itu, Uwais lagi-lagi bersembunyi. Ia selalu bersikap seperti ini untuk kurun waktu yang lama. Ia senantiasa mengajak umat manusia dan menjadi ikon dalam zuhud. Ia adalah orang yang menjadikan banyak umat Muhammad ini masuk surga dengan syafaatnya, selain dari suku Mudhar dan suku Tamim.

Masa pemerintahan Umar terkenal dengan pembukaan wilayah-wilayah Islam. Peperangan paling sengit adalah peperangan kaum muslimin di Azerbaijan. Wilayah ini berhasil di taklukan, sehingga berkibarlah panji-panji Islam. Berikut ini adalaj Abdullah bin Salamah, seorang pahlawan perang di Azerbaijan, tentang Uwais al-Qarni:

“Kami berperang di Azerbaijan pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Dalam pasukan kami terdapat Uwais al-Qarni. Ketika kami pulang dari peperangan, kami melihat sakit menjangkitinya. Kami membawanya dan merawatnya semampu kami. Namun ia tidak tertolong hingga meninggal dunia. Lalu kami berhenti. Tiba-tiba sudah ada kuburan yang tergali. Ada air yang tertampung, juga kain kafan dan wewangian. Kami memandikannya dan mengkafaninya. Lalu kami menshalati dan menguburkannya.

Salah seorang dari kami berkata, “Seandainya kita kembali untuk mengetahui letak kuburannya.”Lalu kami kembali ke tempat yang dimaksud. Ternyata kami tidak menemukan kuburan dan juga bekas jejaknya.

Semoga Allah merahmati tokoh zuhud ini. Ia telah menghindarkan diri dari dunia.

Sumber:
HR. Muslim dalam shahihnya kitab Fadhail ash-Shahabah No.2542 dan Imam Ahmad dalam al-Musnad,I/38
Siyar A’lam an-Nubala:Imam Adz-Dzahabi, IV/19,22-23,30
Hilyah al-Auliyah’ wa Thabaqath al-ashfiya’:Abu Nu’aim,II/83-85,87
Ath-Thabaqat:Inu Sa’ad,VI/60
101 Kisah Tabi’in

Tuesday, May 10, 2011

Kumpulan Nasehat Salafus Shaleh 1


Abu Bakar ash-Shiddiq R.a (Sahabat) pernah berkata, “Janganlah seorang muslim merendahkan muslim lainnya! Karena sekecil-kecilnya seorang muslim, di sisi Allah adalah besar.”

Ibnu 'Abbas R.a (Sahabat) pernah berkata, “Janganlah Anda duduk-duduk (bermajelis) bersama para pengikut hawa nafsu, karena sesungguhnya duduk-duduk bersama mereka akan membuat hati menjadi sakit.”

Ali bin Abi Thalib R.a (Sahabat) pernah berkata, “Tidak ada sakit yang lebih parah daripada sakitnya hati karena banyaknya dosa yang dilakukan, dan tidak ada kesulitan yang melebihi sulitnya kematian. Cukuplah apa-apa yang telah berlalu sebagai bahan renungan, dan cukuplah kematian sebagai penasehat.”

Hudzaifah bin al-Yaman R.a (Sahabat) berkata, “Tidaklah Allah menciptakan sesuatu melainkan pada mulanya kecil kemudian membesar, kecuali musibah; Karena sesungguhnya Allah menciptakannya besar pada awalnya kemudian mengecil.”
(Bahjatul Majalis, Ibnu Abdil Barr)

Khabbab bin al-Arats R.a (Sahabat) pernah berkata kepada seseorang, “Mendekatlah kepada Allah semampumu (dengan memperbanyak amal shalih). Ketahuilah, sesungguhnya Anda tidak akan menemukan suatu amalan yang dapat mendekatkan Anda kepada Allah yang lebih dicintai-Nya daripada (membaca, mendengarkan dan mentadabburi) firman-firman-Nya.”

Ketika Utsman bin ‘Affan R.a (Sahabat) berdiri di hadapan sebuah kuburan, beliau menangis seraya berkata, “Sungguh! Seandainya aku berada di antara surga dan neraka, aku tidak tahu ke mana tempat kembaliku, surga atau neraka. Dan seandainya aku diberi hak untuk memilih, maka aku akan lebih memilih untuk menjadi abu sebelum aku mengetahui tempat tinggalku yang abadi.”

Abu ad-Darda’ R.a (Sahabat) pernah berkata, “Seandainya Anda mengetahui apa yang akan Anda hadapi setelah kematian, niscaya akan hilanglah selera Anda untuk makan dan minum dan Anda tidak akan masuk ke dalam rumah untuk berteduh di dalamnya.

al-Hasan al-Bashri Rah.a (Tabi’in) pernah berkata tentang kedudukan sahabat-sahabatnya yang baik, “Sahabat-sahabat kami lebih mahal (tinggi kedudukannya) daripada keluarga kami. Keluarga kami mengingatkan kami kepada dunia sedangkan sahabat-sahabat kami mengingatkan kami kepada akhirat.”

al-Hasan al-Bashri Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Janganlah Anda tertipu dengan banyaknya amal ibadah yang telah Anda lakukan, karena sesungguhnya Anda tidak mengetahui apakah Allah menerima amalan Anda atau tidak.
Jangan pula Anda merasa aman dari bahaya dosa-dosa yang Anda lakukan, karena sesungguhnya Anda tidak mengetahui apakah Allah mengampuni dosa-dosa Anda tersebut atau tidak.”

al-Hasan al-Bashri Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Tidaklah datang suatu hari dari hari-hari di dunia ini melainkan ia berkata, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah hari yang baru, dan sesungguhnya aku akan menjadi saksi (di hadapan Allah) atas apa-apa yang kalian lakukan padaku. Apabila matahari telah terbenam, maka aku akan pergi meninggalkan kalian dan takkan pernah kembali lagi hingga hari kiamat.”

al-Hasan al-Bashri Rah.a (Tabi’in), seorang ‘alim lagi ‘abid dari kalangan tabi’in, beliau berkata, “ Wahai anak Adam, juallah duniamu untuk akhiratmu, niscaya kamu untung di keduanya, dan janganlah kamu jual akhiratmu untuk duniamu, karena kamu akan rugi di keduanya. Singgah di dunia ini sebentar, sedangkan tinggal di akhirat sana sangatlah panjang”

al-hasan Bashri Rah.a (Tabi’in) pernah berkata,”Jika seseorang mengalahkanmu dalam urusan dunia, maka kamu jangan mau kalah. Kalahkan orang itu dalam urusan Akhirat.”

Qatadah Rah.a (salah seorang murid Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) pernah berkata, “Dunia adalah kesenangan yang (akan) segera ditinggalkan. Demi Allah yang tiada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia, tak lama lagi (dunia ini) akan hancur bersama penduduknya. Maka ambillah dari kesenangan dunia untuk mentaati Allah semampu Anda! Sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali dari Allah.”

Qatadah Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an telah menunjukkan kepada kalian penyakit yang kalian derita dan obat penawarnya. Adapun penyakit kalian adalah perbuatan dosa dan maksiat, sedangkan obat penawarnya adalah taubat dan istigfar.”

Sahnun Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Janganlah Anda termasuk ke dalam golongan orang yang apabila mereka berada di tengah orang banyak, mereka menjadikan Iblis sebagai musuh. Akan tetapi, ketika mereka menyendiri, mereka menjadikan Iblis sebagai sahabat dekat.”

Atha bin Rabah Rah.a (Tabi’in) berkata, “Umar bin Abdul Aziz biasa berkumpul bersama orang-orang fakir setiap malamnya. Mereka duduk bersama-sama saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat dan kehidupan akhirat. Mereka pun menangis di majelis tersebut seolah-olah jenazah ada di hadapan mereka saat itu.”

Sa’id bin Jubair Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang paling utama adalah rasa takut kepada Allah yang dapat menghalangi Anda dari perbuatan maksiat dan mendorong Anda untuk berbuat ketaatan; Dan dzikir merupakan (bagian dari) ketaatan kepada Allah. Maka barangsiapa yang mentaati Allah maka sesungguhnya ia telah berdzikir. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mentaati-Nya, maka sesungguhnya ia telah lalai dari dzikir kepada-Nya walaupun ia banyak bertasbih dan membaca al-Qur’an.”

Wahab bin Munabbih Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Sesungguhnya orang yang paling dermawan di dunia ini adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah walaupun orang lain melihatnya sebagai orang yang kikir dalam hal lain. Dan sesungguhnya orang yang paling kikir di dunia ini adalah orang yang kikir untuk menunaikan hak-hak Allah walaupun orang lain melihatnya sebagai orang yang dermawan dalam hal lain.”

Wahab bin Munabbih Rah.a (Tabi’in)pernah berkata, “Sesungguhnya orang yang paling dermawan di dunia adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah, walaupun orang lain melihatnya sebagai orang kikir dalam hal lain. Dan sesungguhnya orang yang paling kikir di dunia adalah orang yang kikir terhadap hak-hak Allah, walaupun orang lain melihatnya sebagai orang yang dermawan dalam hal lain.”

al-A’masy Rah.a (Tabi’in) pernah berkata, “Hafalkanlah ilmu yang telah Anda kumpulkan! Karena orang yang mengumpulkan ilmu namun ia tidak menghafalnya, bagaikan seorang laki-laki yang duduk di depan hidangan, lalu ia mengambil hidangan tersebut sesuap demi sesuap, namun ia lemparkan suapan-suapan itu ke belakang punggungnya. Kapankah Anda akan melihatnya kenyang?”

Sufyan ats-Tsauri Rah.a (Tabi’ut Tabi’in) pernah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit untuk aku hadapi daripada diriku (hawa nafsuku) sendiri. Terkadang aku berhasil mengalahkannya, tapi di lain waktu dia berhasil mengalahkanku.”

Ibnul Mubarak Rah.a (Atba‘ Tabi’ut Tabi’in) pernah berkata, “Tinggalkanlah pandangan-pandangan mata yang tidak bermanfaat, niscaya Allah akan memberikan kekhusyu’an ke dalam hatimu! Dan tinggalkanlah perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat, niscaya Allah akan memberikan mutiara hikmah kepada Anda.”

Syaqiq bin Ibrahim Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Keshalihan amal seseorang akan sempurna dengan enam perkara : (1) senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan takut pada ancaman-Nya, (2) berbaik sangka terhadap sesama muslim, (3) Menyibukkan diri dengan aib sendiri sehingga ia tidak sempat memperhatikan aib orang lain, (4) menutup aib saudaranya dan tidak menyebarkannya kepada orang lain dengan harapan saudaranya tersebut mau meninggalkan perbuatan maksiat dan memperbaiki perilakunya yang tidak baik, (5) menganggap besar kekurangan yang ada pada amalnya sehingga ia terdorong untuk meningkatkannya dan (6) berteman dengan orang yang ia anggap benar.”

Atha’ as-Sulami Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Kematian telah berada di leherku, kuburan adalah rumahku, pada hari kiamat kelak aku akan berdiri dihadapan Allah, shirath (jembatan di atas neraka jahannam) akan menjadi jalan yang harus kulewati. Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kelak.”

Muhammad bin Ka’ab Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Taubat (yang benar) menghimpun empat perkara : (1) istighfar dengan lisan, (2) meninggalkan perbuatan maksiat, (3) bertekad dalam hati untuk tidak kembali berbuat dosa dan (4) meninggalkan teman-teman yang jahat.”

Ibnul Qayyim Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Sungguh aneh! Seorang manusia bisa mengendalikan dirinya dari berbagai perkara yang diharamkan, akan tetapi amat berat baginya mengendalikan ucapan lisannya. Anda melihat seorang yang dipandang alim agamanya, zuhud terhadap dunia dan ahli beribadah, namun ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa disadarinya mendatangkan kemurkaan Allah Subhaanahu Wata'ala dan menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat.”

Ibnul Qayyim Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Menyia-nyiakan waktu (luang) lebih berbahaya daripada kematian; Karena sesungguhnya menyia-nyiakan waktu (luang) memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian memutuskanmu dari dunia dan penduduknya.”

‘Amrah istri dari Hubaib al-‘Ajmi Rah.a (Salafus Soleh) biasa membangunkan suaminya di malam hari sambil berkata, “Wahai suamiku, bangunlah (untuk melakukan shalat malam)! Sebagian malam telah berlalu meninggalkanmu. Di hadapanmu ada perjalanan jauh yang sangat melelahkan, sedangkan bekalmu hanya sedikit. Rombongan orang-orang shalih telah jauh meninggalakan kita, sedang kita masih tetap berdiam di tempat kita semula.”

al-Fudhail bin ‘Iyadh Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Lima tanda dari tanda-tanda kebinasaan seseorang : (1) kerasnya hati, (2) bekunya air mata untuk menangis karena takut kepada Allah, (3) sedikitnya rasa malu, (4) besarnya kecintaan kepada dunia dan (5) panjangnya angan-angan.”

Menjelang detik-detik kematiannya, ‘Umar bin al-‘Ash Rah.a (Salafus Soleh) berkata, “Ya Allah, Engkau telah memerintahkan kami (untuk melakukan kebaikan), akan tetapi kami mendurhakainya dan meninggalkanya. Sebaliknya, Engkau telah melarang kami (untuk melakukan keburukan), akan tetapi kami justru mengerjakannya. Tidak ada yang mampu kami lakukan kecuali mengucapkan “Laa ilaaha illallah.”” Beliau pun kemudian mengulang-ulang kalimat “Laa ilaaha illallah” hingga beliau meninggal dunia.

Ad-Daqqaq Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Barangsiapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dianugerahi tiga perkara : (1) bersegera untuk bertaubat, (2) ketenangan dan ketenteraman hati dan (3) semangat untuk beribadah. Sebaliknya, barangsiapa yang melupakan kematian, maka ia akan dihukum dengan tiga perkara : (1) menunda-nunda taubat, (2) kegelisahan dan kegundahan hati dan (3) rasa malas untuk beribadah.”

Ibnul Jauzi Rah.a (Salafus Soleh) berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya keadaan orang-orang yang banyak berdzikir (mengingat Allah) berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Diantara mereka ada yang lebih mengutamakan membaca al-Qur’an dan mendahulukannya dari dzikir-dzikir yang lainnya. Dan diantara mereka ada pula yang lebih memilih untuk memperbanyak membaca tahlil, tasbih dan tahmid.”

Ibnu Rajab Rah.a (Salafus Soleh) berkata, : Diantara amalan sunnah yang paling agung yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah adalah membaca al-Qur’an, mendengarkannya, mentadabburinya dan memahami maknanya.

Imam Abu al-‘Izz al-Hanafi Rah.a (Salafus Soleh) berkata, “Tidaklah seorang hamba merahasiakan sesuatu dalam hatinya, melainkan Allah Subhaanahu wata'ala akan menampakannya melalui ucapan lisannya.” (Syarh ath-Thahawiyah)

Syumaith Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Sesungguhnya Allah meletakkan kekuatan orang beriman di dalam hatinya, bukan pada anggota tubuhnya. Tidakkah Anda memperhatikan orang tua yang sudah lemah fisiknya tapi masih mampu berpuasa di siang yang sangat panas dan bangun di malam hari untuk melakukan shalat malam? Padahal banyak orang-orang yang masih muda lagi kuat fisiknya tidak sanggup untuk melaksanakannya.” (Dari kitab Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim al-Ashbahani)

Abu Mu’awiyah al-Aswad Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Seluruh manusia – yang baik maupun yang jahat – berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih rendah (nilainya di sisi Allah) daripada sayap lalat.” Lalu seseorang bertanya kepadanya, ”Apakah yang lebih rendah (nilainya di sisi Allah) daripada sayap lalat itu?” Ia menjawab, “Dunia.” (Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim al-Ashbahani)

Abu Hazim Rah.a (Salafus Soleh) pernah berkata, “Ada dua perkara yang jika Anda Amalkan, Anda akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Dan aku tidak akan berpanjang lebar untuk menjelaskan kedua perkara tersebut kepada Anda.”
Kemudian ia ditanya, “Apa dua perkara itu?” Abu Hazim menjawab, “Menerima sesuatu yang tidak Anda sukai, jika sesuatu itu disukai Allah. Dan membenci sesuatu yang Anda sukai, jika sesuatu itu dibenci oleh Allah.”

Berkata Yahya bin Mu’adz Rah.a (Salafus Soleh), ”Hendaknya setiap mukmin memperoleh tiga macam perlakuan darimu; Jika kamu tidak dapat memberinya sesuatu manfaat maka janganlah membahayakannya, jika kamu tidak bisa membahagiakannya maka janganlah membuatnya sedih, dan jika kamu tidak memujinya maka janganlah mencelanya.”