Monday, March 15, 2010

Karamah Sahabat r.a Bagian 9

46. Ummu Syarik al-Dausiyah r.a.

Kisah 1

Yahya bin Sa'id menceritakan bahwa Ummu Syarik al-Dausiyah berhijrah, di tengah jalan ia berkawan dengan seorang Yahudi. Pada waktu itu, Ummu Syarik al-Dausiyah dalam keadaaan berpuasa. Orang Yahudi itu berkata kepada isterinya, "Jika engkau memberinya minum, aku benar-benar akan marah." Sampai di penghujung malam, Ummu Syarik al-Dausiyah masih berpuasa karena tidak ada makanan unruk berbuka. Tiba-tiba di atas dada Ummu Syarik ada timba, lalu ia meminumnya. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata, "Aku mendengar suara orang minum." Istri Yahudi itu menyahut, "Demi'Allah, aku tidak memberinya minum." (Riwayat Ibnu Sa'ad dari `Arim bin al-Fadhl dari Hammad bin Zaid)

Kisah 2

Ibnu Sa'ad juga menceritakan bahwa Ummu Syarik al-Dausiyah memiliki wadah lemak sapi yang dianggap jelek oleh orang yang mendatanginya. Ada seseorang mengunjunginya, lalu Ummu Syarik berkata, "Di dalam wadah ini, terdapat apa yang dibutuhkan." Ia meniup wadah itu dan menjemurnya di panas matahari. Tiba-tiba wadah itu telah penuh dengan mentega. Ada yang berpendapat bahwa wadah lemak sapi Ummu Syarik termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.

47. Utsman bin 'Affan r.a.

Kisah 1

Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada 'Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. 'Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu." Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw wafat?" `Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin." `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.

Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bcrsih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti 'Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).

Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya, Dan hati mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad. (QS Al Taubah [9]: 87)

Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti 'Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap. Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.

Kisah 2

Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati 'Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat 'Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya. Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)

Kisah 3

Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan salam kepadanya. 'Utsman bercerita, "Selamat datang saudaraku. Aku melihat Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, "Utsman, apakah mereka mengurungmu?' Aku menjawab, `Ya.' Lalu beliau memberikan seember air kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari ikut kami.' Kemudian aku memilih makan bersama mereka." Pada hari itu juga, `Utsman terbunuh.

Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis, apa yang dialami 'Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)

48. Ya'la bin Marrah

Ya'la bin Marrah berkata, "Kami bersama Rasulullah melewati pemakaman. Aku mendengar rintihan kesakitan dari dalam suatu makam, lalu aku bertanya, 'Ya Rasulullah, aku mendengar rintihan kesakitan dari dalam kubur.' Rasulullah bertanya, `Kamu bisa mendengarnya, Ya`la?' Aku menjawab, `Ya.' Kemudian Rasulullah berkata, `Sesungguhnya ia sedang disiksa karena hal yang sepele.' Aku bertanya, 'Karena apa?' Rasulullah menjawab, `Adu domba dan kencing."' (HR Al-Baihaqi)

49.Zaid bin Kharijah al-Anshari

Zaid bin Kharijah al-Anshari adalah keturunan Bani Harits bin Khazraj. Ia wafat pada masa 'Utsman. Setelah jenazahnya dibungkus kain kafan, terdengar suara keras dari dalam dadanya, "Terpujilah Muhammad, terpujilah Muhammad dalam lauh mahfuzh. Benarlah Abu Bakar al-Shiddiq, benarlah Abu Bakar al-Shiddiq yang lemah jiwanya tetapi teguh menegakkan perintah Allah, dalam lauh mahfuzh. Benarlah `Umar bin Khattab, benarlah `Umar bin Khattab yang kuat lagi tepercaya dalam lauh mahfuzh. Benarlah `Utsman bin Affan, benarlah `Utsman bin Affan yang mengatur sistem mereka. Enam tahun setelah ini akan muncul berbagai fitnah, yang kuat memangsa yang lemah, tanda-tanda kiamat muncul, dan akan datang dari pasukan kalian, berita tentang sumur Aris (sebuah sumur di Madinah)." Kemudian ada seorang lakilaki dari Bani Khathmah meninggal. Jenazahnya dikafani dengan bajunya, lalu terdcngar suara keras dari dalam dadanya, "Benarlah, benarlah apa yang telah dikatakan oleh Zaid dan Bani Harits bin Khazraj." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Sa'id bin Musayyab)

Al-Baihaqi menjelaskan cerita tentang sumur Aris, "Nabi Saw membuat sebuah cincin kemudian memakainya, lalu cincin itu dipakai Abu Bakar, disusul `Umar, dan terakhir `Utsman, sampai kemudian cincin itu jatuh ke sumur Aris pada tahun keenam pemerintahan `Utsman. Sejak saat itu, kinerja Utsman berubah dan sebab-sebab fitnah muncul, seperti yang telah dikatakan jenazah Zaid bin Kharijah enam tahun sebelumnya."

Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa sahabat rasulullah yang mampu berbicara setelah meninggal dunia adalah Kharijah bin Zaid, sebagaimana diceritakan oleh Nu'man bin Basyir. Kharijah bin Zaid adalah salah seorang pemimpin kaum Anshar. Suatu hari, ketika ia melewati sebuah jalan di Madinah antara waktu zuhur dan asar, mendadak ia jatuh, lalu wafat. Mendengar berita wafatnya Kharijah, kaum Anshar mengetahui mendatanginya dan membawanya ke rumahnya, mengafaninya dengan pakaian dan dua buah selendang. Kaum Anshar baik laki-laki maupun perempuan menangisi kematiannya. Jenazah Kharijah dibiarkan terbungkus kain kafan dalam waktu lama, karena orang-orang meratapi kematiannya yang mendadak, sehingga mereka tidak menyegerakan pemakamannya. Pada waktu antara magrib dan isya, orang-orang mendengar suara mengatakan, "Diamlah kalian semua! Diamlah kalian semua!" Mereka mencari asal suara itu, ternyata suara itu muncul dari bawah pakaian yang ditutupkan ke jenazah Kharijah. Lalu mereka membuka penutup wajahnya, tiba-tiba jenazah Kharijah berkata, "Muhammad adalah urusan Allah, seorang nabi yang ummi, penutup para nabi yang tidak ada nabi setelahnya. Sebagaimana yang ditetapkan dalam lauh mahfuzh." Lalu berkata lagi, "Benarlah, benarlah." Lalu berkata, "Ini adalah utusan Allah, semoga keselamatan, rahmat, dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan atasmu ya Rasuullah, begitu juga rahmat dan barakah Allah." Kemudian ia wafat kembali seperti semula. (Riwayat Al Thabrani).

Riwayat ini dikutip dari kitab saya (penulis), Hujjatullah `ala al-'Alamin. Dalam kisah itu, seolah-olah Kharijah bin Zaid melihat ruh Nabi Saw hadir di sampingnya. Ia hanya menyebutkan tiga khalifah setelah Rasulullah Saw. wafat dan memuji mereka, tctapi tidak menyebutkan Ali, karena ketika itu All belum menjabat khalifah. Kemudian aku mengecek hal tersebut dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir pada bab tentang biografi Kharijah bin Zaid al-Khazraji. Saya melihat ada perbedaan pendapat tentang tokoh dalam kisah ini, apakah Kharijah bin Zaid atau Zaid bin Kharijah. Di akhir pembahasannya, Ibnu Atsir mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah Zaid bin Kharijah.

50. Zainab Ummu Kultsum

Sayyidah Zainab Ummu Kultswn adalah putri Sayyidina All bin Abi Thalib dari Sayyidah Fatimah al-Zahra' r.a., juga istri `Umar bin Khatthab r.a. Dalam kitab Al-Isyarat fi Amakin al-Ziyarat, Ibnu Haurani mengemukakan bahwa `Umar menikahi Sayyidah Zainab dengan mahar 40.000. Sayyidah Zainab melahirkan Zaid yang bergelar Dzul Hilalain dan hanya sebentar mendampingi `Umar. Ia wafat di Ghauthah, daerah di Damaskus, setelah peristiwa pembunuhan saudara laki-lakinya, Husaul r.a. Ia dimakamkan di daerah yang bernama Rawiyah, selanjutnya daerah tersebut dinamai dengan nama Sayyidah Zainab Ummu Kultsum, yang sekarang terkenal dengan sebutan Makam Al-Sittu.

Syaikh Abu Bakar al-Maushili bercerita, "Aku menziarahi makam Sayyidah Zainab satu kali bersama sekelompok sahabatku. Aku tidak masuk ke makamnya, tetapi hanya menghadap ke arah makamnya. Kami menundukkan pandangan sebagaimana ditetapkan para ulama bahwa peziarah sebaiknya menghormati mayit sebagaimana ketika ia masih hidup. Ketika aku sedang menangis dengan khusyuk dan rendah hati, tiba-tiba aku melihat sosok perempuan bertubuh besar, terhormat, dan berwibawa. Orang tidak akan mampu memandangnya karena begitu menghormatinya. Kemudian perempuan itu menoleh ke arahku dan berkata, 'Hai anakku, semoga Allah menambahkan penghormatan dan kesopanan kepadamu. Tahukah kamu bahwa kakekku adalah Rasulullah Saw dan para sahabatnya selalu menziarahi Ummu Aiman, karena ia perempuan terhormat. Sampaikan kabar gembira kepada umat bahwa kakekku, para sahabat, dan anak cucunya mencintai umat ini, kecuali orang yang murtad dari agama ini karena mereka membencinya.' Aku gelisah memikirkan ucapan perempuan itu yang bagiku merupakan misteri. Ketika aku sadar sepenuhnya, perempuan itu tak tampak lagi. Akhirnya, aku rajin menziarahi makam Sayyidah Zainab sampai sekarang." Ibnu Asakir mengatakan bahwa di sebelah barat makam Sayyidah Zainab r.a. terdapat makam Sayyid Mudrik al-Shahabi. (Diceritakan oleh Ibnu Haurani)

Ibnu al-Atsir telah menulis biografi tentang Sayyidah Zainab r.a. dalam kitab Usud al-Ghabah, dan menuturkan bahwa Sayyidah Zainab r.a. dilahirkan sebelum Rasulullah Saw wafat. Setelah dinikahi `Umar, ia menikah lagi dengan putra pamannya yaitu 'Aun bin Ja'far, sesuai perintah ayahandanya. Sayyidah Zainab dan anak laki-lakinya Zaid, wafat pada waktu yang sama. Abdullah bin `Umar menshalati jenazahnya atas perintah saudara laki-laki Zainab r.a. yaitu Hasan r.a.

No comments:

Post a Comment