Thursday, April 8, 2010

Kisah Rabi’ bin Haitsam Rah.a (Tabi'in)


”Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, InsyaAllah ia tergolong Sahabat yang dicintai.“(Abdullah bin Mas’ud r.a)

Rabi’ adalah seorang tabi’in yang sangat alim. Ia termasuk salah seorang dari delapan ulama zuhud yang terakhir di zamannya. Sejak mud, ia sangat taat beribadah. Ketika mendekati masa baligh, suatu malam ibu Rabi’ terbangun. Ada apa gerangan? Ia menemukan anaknya sedang bermunajat dan terhanyut dalam shalat. Sang ibu menegur lembut,”Apakah engkau tidak tidur, Rabi’?

”Bagaimana seseorang yang diliputi kegelapan bisa tidur dengan nyenyak sementara ia takut akan serangan musuh?” jawab Rabi’ dengan sopan. Mengalirlah air mata ibunya membasahi pipi sembari mendoakan putranya agar mendapatkan kebaikan.

Ketika Rabi’ tumbuh dewasa, sifat wara’-nya bertambah, hampir sepanjang malam ia habiskan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rintihan tangisnya ketika berdoa ditengah keheningan malam makin memilukan. Sang ibu tidak bisa tidur. Ia menyangka kalau anaknya telah melakukan dosa besar.

Ketika Rabi’ ditanya ibunya, ia menjawab, ”Betul Bu, aku pernah membunuh orang,”jawab Rabi’ sedih.

”Anakku, siapakah yang engkau bunuh? Aku akan menemui kerabatnya. Mungkin mereka mau memaafkanmu. Demi Allah, Aku yakin seandainya keluarga si terbunuh mendengar tangis yang engkau deritakan dan mengetahui kalau engkau tak banyak tidur malam, niscaya mereka akan mengasihimu,”ujar sang Ibu penuh kecemasan.

”Baiklah Bu, tapi mohon jangan beritahu siapapun. Sebenarnya aku telah membunuh diriku sendiri dengan tumpukan dosa,”jawab Rabi’.

Itulah sosok Rabi’, seorang murid Abdullah bin Mas’ud yang rendah hati. Ia sangat dicintai gurunya. Hubungannya dengan sang guru laksana anak dengan orangtuanya. Kekaguman sang guru terhadapnya dilatari oleh kemuliaan akhlak dan kecerdasannya, juga ibadahnya yang sempurna, Ibnu Mas’ud sempat berkata, ”Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, InsyaAllah ia tergolong Sahabat yang dicintai.“

Suatu hari, Rabi’ kedatangan dua orang tamu, Hilal bin Isaf dan Mundzir ats-Tsauri. Mereka mengucapkan salam seraya bertanya, ”Bagaimana keadaan engkau wahai Syaikh?”

”Dalam keadaan lemah, penuh dosa, makan seadanya dan kini sedang menunggu ajal kematian,”jawab Rabi’.

”Seorang dokter piawai telah datang ke kota ini. Apakah syaikh berkenan kalau aku memanggilnya demi kesembuhanmu?” Hilal mengusulkan.

”Wahai Hilal, aku tak yakin dengan keampuhan obat. Aku jadi teringat akan kebinasaan kaum’Aad, Tsamud dan lainnya. Aku teringat akan kerakusan mereka terhadap dunia dan kecintaannya terhadap harta. Kekuatan dan kekuasaan mereka lebih besar dan lebih agung daripada kita. Saat itu, banyak tabib dan orang sakit. Tapi akhirnya tak seorangpun yang tetap tinggal, baik tabib maupun pasiennya,”Jawab Rabi’.

Kemudian ia menarik nafas panjang seraya berkata, ”Kalau itu memang satu-satunya obat, niscaya aku mengambilnya.”
”Jadi, penyakit apakah itu wahai syaikh?”tanya Hilal
”Obatnya adalah bertaubat,,”Jawab Rabi’ tegas.
”Lantas bagaimana menyembuhkannya?”tanya Hilal ingin tahu.
”Dengan bertaubat dan tidak mengulangi lagi,”Jawab Rabi’. Kemudian ia menatap mereka berdua seraya berkata,”Waspadalah terhadap keburukan gerakan batin yang tak tampak oleh manusia, namun jelas di sisi Allah. Carilah obatnya.”

”Apa obatnya?”tanya Mundzir ingin tahu.
”Taubat nasuha,”jawab Rabi’ seraya menangis hingga airmatanya membasahi jenggotnya.

”Mengapa syaikh menangis?Bukankah engkau termasuk orang yang shalih?”tany Mundzir penuh keheranan.

Perbincangan itu semakin menarik, sampai waktu tak terasa berjalan cepat. Saat itu mendekati waktu Dzuhur, Hilal memohon nasehat rohani kepada Rabi’.

”Hilal, Janganlah terpesona oleh pujian. Mereka tidak mengetahui perihalmu yang sebenarnya kecuali hanya yang tampak. Ingatlah bahwa setiap perbuatan yang bukan karena Allah, hanyalah sia-sia,”kata Rabi’ memberi nasehat. Kemudian keluar air matanya bercucuran sambil berkata, ”apa yang dapat kalian lakukan ketika bumi diguncangkan berkali-kali? Ketika para malaikat berbaris dan neraka di perlihatkan?”

Ketika Adzan Dzuhur di kumandangkan, ia segera mengajak putranya memenuhi panggilan Allah. ”Wahai syaikh! Allah telah memberikan keringanan bagi engkau! Alangkah baiknya kalau engkau shalat di rumah saja,”ujar Mundzir.

”Benar yang kau katakan. Tapi aku telah mendengar suara Muadzin menyerukan hayya ’alal falah (mari menuju kemenangan). Barang siapa medengar muadzin mengajak kemenangan, maka hendaklah memenuhi panggilannya, sekalipun dengan cara merangkak,”jawabnya Rabi’.

Ketakwaan Rabi’ yang begitu luar biasa menjadi buah bibir rekan-rekannya. Suatu ketika Abdurrahman bin Ajlan berkata,”suatu malam, saya bermalam di rumah Rabi’. Setelah yakin saya tidur nyenyak, ia bangun, kemudian ia sholat. Dalam shalatnya ia membaca ayat dari surah al-Jatsiyah berulang kali hingga fajar menyingsing. Sementara itu, dikedua pelupuk matanya bercucuran air mata bening.”

Banyak juga yang menceritakan tentang rasa takut Rabi’ pada Allah. Sebuah riwayat dari Mundzir mengatakan,”Suatu hari kami keluar bersama Abdullah bin Mas’ud r.a dan Rabi’ melalui tepi sungai Eufrat. Ditengah perjalanan kami melihat pabrik kapur yang besar tengah menyala apinya. Percikan apinya berhamburan. Bara apinya berkobar-kobar. Letupan nyalanya terdengar. Tampak beberapa batu siap dibakar menjadi kapur. Ketika Rabi’ melihat kobaran api, ia berhenti sejenak. Ia gemetar seakan disambar halilintar. Kemudian ia membaca ayat,” Apabila mereka itu melihat neraka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”(QS. Al-Furqan: 12-13)

Kemudian ia pingsan. Saya dan Abdullah bin Mas’ud merawatnya hingga sadar. Lalu mengantarkannya pulang.”

Rabi’ tinggal di Kufah. Ia adalah generasi tabi’in yang wara’ dan khusyu. Ia amat berhati-hati menghadapi dosa-dosa kecil dan nyaris tak pernah melakukannya. Ketika mencapai usia senja, ia terserang penyakit lumpuh. Sejak saat itu ia mengurung diri dirumah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sumber:
Shuwar min Hayyah at-Tabi’in, Abdurrahman Ra’fat Basya
Ashr at-Tabi’in, Abdul Mun’im al-Hasyimi
Shuwar min Siyar at-Tabi’in, Azhari Ahmad Mahmud

No comments:

Post a Comment